Mari Bersepeda!

I want to ride my bicycle, I want to ride my bike
I want to ride my bicycle, I want to ride it where I like


Aku menyanyikan bait legendaris Queen itu sambil mengayuh sepedaku dengan riang ke kantor. Aku suka bersepeda! Ke rumah kawan, saudara, ke mall, dan tentu saja ke kantor!

Bike to work, ceuk batur mah. Yap, setiap hari aku memang pergi ke kantorku di majalah Gatra dengan mengendarai sepeda Polygon-ku yang setia. Dari kosan, jarak ke kantor memang lumayan. Jalan kaki 15 menit, naik ojek 5.000 rupiah. Nah, lebih baik naik sepeda kan?

Kegemaran bersepeda ini agaknya ditularkan dari Bapakku. Ia juga bersepeda ke kantornya di kawasan Bandara Soekarno-Hatta yang berjarak 12 km dari rumah. Dulu semasa SD, Bapak juga suka menjemput aku di sekolah dengan menggunakan sepeda ontel antik kesayangannya. Lengkap pakai topi bambu.

Beberapa kawan SD-ku masih mengingat hal itu sampai sekarang. Kalau main ke rumah, mereka bertanya, “Mana Ken, sepeda ontel bokap lo?” Aku hanya tertawa, “Nggak ada, udah dihibahin ke tukang beras!” Dan mereka pun terkaget-kaget, “Jiaaah… itu kan sepeda antik, Ken! Sekarang mahal loh!”

Iya, tapi gimana atuh? Kasihan tukang beras, kalau nggak punya sepeda dia mau jualan pake apa?

Di saat kawan-kawan seusiaku sudah wara-wiri pakai sepeda motor (bahkan beli pulsa atau ke warung pun naik motor), aku masih seperti saat kecil dulu, setia dengan sepedaku. Pernah waktu reuni SD di rumah seorang kawan, teman-teman datang ke sana dengan motor atau mobil, sementara aku datang dengan berkeringat karena mengayuh sepeda. “Ya ampun si Ken udah gede masih aja naik sepeda!” hahaha…

Kupikir banyak manfaat yang kita dapatkan dengan mengendarai sepeda. Pertama, minim polusi (udara dan suara). Kedua, hemat BBM (ya iyalah). Ketiga, sehat. Keempat, murah. Kelima, yang terpenting menurutku - dengan mengendarai sepeda kita akan lebih mudah berinteraksi dengan orang-orang yang kita lewati. Coba deh, ketika melewati sebuah gang dengan banyak ibu-ibu yang lagi ngerumpi, kalau dengan motor atau mobil kita biasanya akan melaju kencang, wusss…! Cuek-cuek aja. Tapi kalau naik sepeda, entah mengapa rasanya berbeda. Kita secara refleks akan memelankan kayuhan kita dan tersenyum mengangguk, “Punten ibu…”

Ketika ada orang di depan yang menghalangi jalan kita, kalau dengan motor atau mobil, mungkin kita akan membunyikan klakson. Tin! Tin! Tapi kalau naik sepeda, suaranya akan lebih enak didengar sebagai kata permisi, kring… kring…!
Kalau yang aku rasa seperti itu.

Dari kosan menuju gedung Gatra, aku harus menyeberangi Jalan Raya Pasar Minggu yang padat setiap hari. Cukup sulit, jarang mobil atau motor yang mau memberikan jalan untuk sepeda. Apalagi sepeda nggak ada lampu sen, jadi sambil nyebrang, aku harus memberikan tanda lewat tangan. Belum lagi kalau kena semprot asap hitam metromini, yang berpotensi menghilangkan konsentrasi sepersekian detik *lebay...

Untung saja, “Pak Ogah” di persimpangan itu baik sekali padaku. Meski aku nggak pernah memberikan uang receh untuknya, ia selalu mendahulukan aku untuk menyeberang. “Ayo sini Neng! Awas, lihat kiri-kanan! Hati-hati ya neng!” Yang bisa kuberikan hanya senyuman paling manis sembari meneriakkan “Makasih Pak!”. Itu terjadi setiap hari. Bahkan aku merasa disayang dan diperhatikan oleh bapak itu, hehe...

Masuk kantor, Pak Satpam menyapaku ramah sambil sedikit keheranan. “Lho, kamu anak magang itu ya? Naek sepeda tho dek?” Aku cengar-cengir. “Rumahmu di mana?” dan seterusnya berkembang menjadi obrolan yang menyenangkan.

Begitu pula Mas-Mas dan Bapak-Bapak di kantor (berhubung ceweknya cuma ada 5), dengan cepat mengenaliku sebagai anak magang yang naik sepeda, hehe... Agak geer ya...
“Ken pinjem sepedanya, mau ke ATM!”
“Ken mau sepedaan, pinjem dong!”
“Ken, pulang jam berapa? Aku pinjem sebentar dong ke Plaza Kalibata!”

Disadari atau tidak, sepeda itu secara tak langsung membuatku merasa lebih dekat dengan orang-orang baru di kantor. Tentu akan lain ceritanya, kalau aku ke kantor dengan mobil atau supir pribadi. Sepertinya, sepedaku menjadikanku lebih mudah berinteraksi dengan orang-orang baru, hehe...

Dan aku senang lho, ketika banyak kawanku yang juga gemar bersepeda. Ada yang pakai Fixie, ada yang berontel ria. Setiap pagi saat aku bersepeda di jalan raya, nyelip-nyelip di kemacetan, megap-megap kena polusi, aku suka berandai-andai... duh seandainya ada 100 orang saja, yang bersepeda ke kantornya di sekitar Pasar Minggu sini, mungkin jalanan tak semacet ini. Mungkin polusi akan sedikit berkurang, meski hanya beberapa persen saja. Dan mungkin akan lebih banyak orang yang saling bertegur sapa daripada mengumpat-umpat kesal karena polusi dan kemacetan.

Ayolah kawan, kita bersepeda! Semakin banyak dan semakin sering orang yang bersepeda, manfaatnya bukan hanya untuk bumi kita, tapi juga untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita, percaya deh ;)


Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang