Nol Kilometer, Hidup Baru Saja Dimulai

Tiga minggu sudah aku absen mengisi blog ini. Selama itu juga aku absen menulis untuk diriku sendiri. Aku merindukan waktu dengan diriku sendiri. Membaca, menulis, berwisata, memotret... sudah lama sekali aku tak melakukannya. Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti memikirkan kesenangan pribadi. Cukup sudah aku memperkaya diri sendiri dengan kebahagiaan, ilmu, pengalaman, dan waktu YANG HANYA UNTUK KUNIKMATI SENDIRI. Aku harus belajar untuk memaknai hidupku, tak hanya untukku sendiri, tapi juga untuk orang lain.

Bertahun-tahun aku hidup di zona aman dan nyaman, di lingkungan yang senantiasa menjauhkanku dari masalah. Bersama keluarga yang selalu melindungiku dari segala potensi bahaya. Di tengah teman-teman yang senantiasa mengajakku bersenang-senang, di kota Bandung yang indah, nyaman, dan tenang.

Tapi kini, aku baru saja memasuki dunia kerja. Dan kini aku tinggal di Jakarta. Oh meeeenn... this is the real life!

Di dunia kerja yang baru kujajaki ini, aku harus cepat beradaptasi dengan orang-orang baru, rutinitas baru, dan tentu saja budaya yang baru. Aku pun mulai mengenal persaingan. Untuk 2 minggu pertama, jujur saja, tidak mudah. Apalagi perempuan jadi minoritas di ruang kerjaku yang baru ini. Hanya ada 6 orang perempuan! Weww... Yang masih single dan klop denganku hanya satu orang, huks...!

Kantorku di Jakarta. Aku masih meliput di sekitaran Jakarta juga. Aku kos tak jauh dari kantor bersama salah seorang kawanku. Mau tak mau, aku harus memahami karakteristik kehidupan di Jakarta. Ritme yang cepat, dan cenderung keras. Beli apa-apa, mahal. Ke mana-mana, macet. Ketemu orang bertampang serius semua. Dan pengendara kendaraan bermotor juga sering tak ramah padaku yang memang setiap hari naik sepeda ke kantor. Mereka nyerempet-nyerempet, nggak ngasih jalan, atau ngomel-ngomel ketika aku nyebrang. Sering membuatku manyun.

Tapi yang bener-bener juara adalah ketika naik metromini dan kopaja. Kata Ricky Martin mah, “Livin' La Vida Loca” - living dangerously. Si Abang nyopir seenaknya, copet menghantui di mana-mana, polusi menerpa wajah kita, berdesakan, panas, macet, berisik... Pernah lho, palang kereta api sudah mau menutup, pertanda kereta api mau lewat, wussss....! Si Abang metromini dengan santainya menerobos palang itu. Aku menahan napas sambil nyebut “Astagfirullah...astagfirullah...” Atau sering juga, si Abang menyerobot motor, atau menyalip truk dari kiri, lalu “ciiiittt...” nge-rem mendadak dan langsung ngomel-ngomel sama pengendara sepeda motor atau sopir truk/mobil yang dia serobot. Sambil tak henti membunyikan klakson, dia teriak-teriak, dan tak jarang menyebut semua isi kebun binatang. Heboh. Padahal siapa yang salah dah? Ya ampun... aku istigfar lagi.

Mungkin bagi sebagian orang aku terdengar berlebihan ya ketika mengisahkan “the real life” versiku ini. Tapi beneran loh, bagiku ini adalah pengalaman baru. Meskipun aku lahir di Tangerang, sebuah kota industri yang tak jauh dari Jakarta, aku sangat jarang ke Jakarta. Kalaupun ke Jakarta, pasti naik mobil pribadi, duduk nyaman dengan keluarga. Tidak naik metromini, kopaja, atau bajaj. Kemudian aku menghabiskan 6 tahun masa remajaku di asrama. Makin menjauh dari Jakarta. Kuliah di Unpad, Bandung, waaahh... nyaman, tenang, kerjaanku bersenang-senang bersama teman-teman. Belanja, nongkrong, jalan-jalan, wisata kuliner, hihihi...

Tapi aku mulai sadar, kalau selama ini aku hidup di zona aman. Sangat aman. Aku mulai penasaran sama hidup yang sebenarnya. Makin banyak baca, banyak nonton TV, banyak berbagi... Aku mulai menelusuri tepian jalan, kolong jembatan, memperhatikan kehidupan di pinggir rel kereta, di bantaran sungai... Kuamati potret kehidupan mereka. Kehidupan yang ternyata, tidak selalu indah seperti yang aku alami selama ini.

Kupikir mulai saat ini, di tempat ini, aku akan memulai banyak hal baru dalam hidupku.

Komentar

  1. waw its really real life
    i must be prepare for this...

    indahnya hidup ketika kita dapat memperhatikan gejolak sosial kaum pinggiran kemudian kita jadikan bahan intropeksi diri

    tidak seperti kaum teras atas yang doyan mempermainkan hidup orang pinggiran

    BalasHapus
  2. Blog Yang Tidak Hebat Tapi Mampu Menghebatkan Orang, Entah Berapa Banyak, Yang Jelas Saya Termasuk.

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang