Komunitas Reptil-X: “Reptil ini Hewan Eksotis...”
Bagi sebagian orang, reptil seperti ular dan biawak mungkin dianggap sebagai hewan liar yang menakutkan. Tapi tidak bagi para anggota komunitas Reptil-X. Bagi Ibram (29), ketua komunitas tersebut, “Reptil adalah hewan eksotis.”
Hari itu, Minggu (16/1) anggota komunitas tersebut sedang berkumpul di rumah salah satu anggotanya, Koko. Mereka berbincang-bincang santai sambil membawa serta hewan kesayangan masing-masing. Ada biawak, tegu (sejenis iguana), dan berbagai jenis ular. Bagi orang yang belum terbiasa, tentu akan bergidik melihat begitu banyak reptil di dalam rumah. Tapi bagi mereka, ini lebih dari sekadar hobi. Mereka sudah begitu menyayangi dan mengagumi binatang-binatang melata ini.
Ya, komunitas Reptil-X adalah wadah bagi para pecinta hewan reptil. Anggota komunitas yang digagas sejak tahun 2005 ini sekarang sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Bali. “Sekarang di Sumatera dan Kalimantan juga sudah mulai banyak yang bergabung,” kata Ibram. Bahkan sejak website reptilx.com diluncurkan pada tahun 2007, makin banyak pula orang yang tertarik bergabung menjadi anggota. “(Untuk jadi anggota) tidak harus punya reptil, siapapun yang tertarik dan membutuhkan informasi mengenai reptil, silakan bergabung,” kata Jojo, juru bicara komunitas.
Saat ini, anggota komunitas reptilX sudah mencapai hampir 7000 orang, berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan mancanegara, seperti Singapura dan Thailand. Tujuan utama dibentuknya komunitas ini adalah memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang hewan reptil. “Masih ada pandangan negatif di masyarakat, bahwa reptil adalah hewan berbahaya, menakutkan, bahkan tak jarang dikaitkan dengan yang mistis-mistis gitu deh. Kita di sini berusaha memberikan informasi kepada masyarakat bahwa reptil adalah hewan eksotis, dan bisa juga jinak seperti ini,” kata Ibram, ketua komunitas Reptil-X sambil mengelus-elus seekor sanca bola dari Afrika yang bergelayut manja di lehernya.
Demi menghapus stigma negatif tentang reptil, komunitas ini menggelar berbagai kegiatan dalam rangka memperkenalkan reptil kepada masyarakat. Mereka kerap menggelar pameran, bazar, kontes reptil, serta berbagai kegiatan sosialisasi. Misalnya, mereka berkunjung ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan hewan reptil sejak dini kepada anak-anak. Anak-anak tersebut diperbolehkan menyentuh, mengelus, bahkan menggendong ular atau iguana yang dibawa ke sekolah mereka. Mereka diajak untuk memahami, bahwa reptil bukanlah hewan menakutkan. Reptil sama seperti hewan lainnya, bisa dipelihara dan dijinakkan, bahkan harus dilestarikan.
Untuk mempererat relasi antar anggota komunitas, Reptil-X juga kerap mengadakan acara internal, seperti kontes reptil maupun lomba foto reptil. “Karena reptil ini punya kekhasan ya, di corak kulitnya. Ular, biawak, iguana, atau tokek, semua punya corak yang unik. Ketika kita bisa memotret dengan teknik yang bagus juga kan, keindahan corak reptil akan semakin terlihat,” jelas Ibram, ketika ditanya soal keistimewaan memotret reptil. Adapun untuk kontes, yang dinilai di antaranya kesehatan reptil, karakteristik (termasuk jinak-tidaknya reptil tersebut), ukuran, dan corak kulit.
Selain untuk memberikan informasi yang tepat tentang reptil kepada masyarakat, sebetulnya tujuan utama dibentuknya komunitas ini adalah untuk menjadi wadah berbagi informasi sesama penggemar reptil. “Sebetulnya orang ‘kan banyak yang pelihara reptil, baik itu kura-kura, ular, iguana, atau biawak. Tapi sebelum ada komunitas ini, mereka ‘kan kebanyakan mengurus sendiri aja di rumah. Kalau hewannya sakit, atau ganti kulit, bingung harus diapain. Nah, di komunitas inilah kita saling bagi info-info macam itu,” jelas Ibram.
Reptil unik hasil breeding
Di komunitas ini, para pemilik reptil juga bisa melakukan breeding (pengembangbiakan) hewan peliharaan mereka. “Misalnya ada yang punya ular jantan, tapi tidak punya yang betina, kan bisa tanya ke anak-anak sini, pasti banyak lah yang punya. Nanti dia bisa pilih, mau induk yang corak dan karakteristiknya seperti apa,” kata Ibram. Menurutnya, saat ini breeding reptil untuk mendapatkan corak kulit yang unik memang sedang tren di kalangan pecinta reptil.
Reptil yang saat ini sedang naik daun adalah sejenis tokek gurun, yang dikenal dengan nama Leopard Gecko. Tokek berukuran 20 cm ini memiliki corak kulit yang unik, ada yang bertotol mirip kulit macan (leopard), loreng bergaris, bahkan ada yang memiliki lebih dari satu warna. Misalnya, ada yang tubuhnya berwarna kuning dengan bintik hitam, namun ekornya berwarna keunguan. Atau ada juga yang seluruh tubuhnya berwarna kuning, namun keempat kakinya berwarna coklat. Semua adalah hasil breeding dengan indukan yang memiliki beragam warna. “Leopard gecko ini gampang sekali di-breeding. Usia 6-8 bulan sudah bisa kawin, dan satu kali pembuahan dia bisa mengeluarkan sepuluh telur. Dan hasilnya seperti ini,” kata Ibram sambil menunjukkan tokek warna-warni tersebut.
Ibram mengatakan, selama ini breeding reptil banyak dilakukan oleh orang luar negeri. Padahal tak jarang para hobbiers mancanegara itu pun mendapatkan indukan dari Indonesia. Menurutnya, Indonesia kaya akan beragam jenis fauna unik, termasuk reptil. Bahkan Indonesia punya banyak satwa endemik. Komunitas ini mengajak para anggotanya untuk melakukan breeding sendiri. “Artinya untuk mendapatkan reptil yang berkualitas nggak harus impor, dengan harga mahal. Malah kalau kita sudah bisa menghasilkan anakan yang berkualitas, kita bisa ekspor. Kemarin bahkan ada kawan di Jogja yang berhasil mengawinkan ular yang beda jenis, sanca dengan piton. Menghasilkan 10 anak, dan tiap ekornya sudah ada yang pesan dengan harga fantastis, Rp 25 juta per ekor. Bayangkan saja,” katanya.
Reptil memang tidak sulit dipelihara. Bahkan jika tahu cara memelihara dan mengembangbiakkan yang tepat, reptil bisa mendatangkan keuntungan. Lalu apa yang masih menjadi kesulitan hingga saat ini? “Pandangan negatif dari masyarakat tentang reptil itulah yang sangat kita sayangkan. Seringkali kalau melihat ular di rumah langsung dibunuh, bahkan dikaitkan dengan yang mistis-mistis. Padahal tidak harus dibunuh, asal kita tahu cara menangkap yang benar, ular atau reptil seperti apapun bisa ditangani,” kata Ibram.
Tanda Sayang
Ibram yang turut menggagas komunitas Reptil-X ini, sudah gemar memelihara reptil sejak masih duduk di bangku SMP. Reptil yang pertama kali ia pelihara adalah kura-kura. Mengapa kura-kura? “Karena untuk pemula, kura-kura memang yang paling mudah diizinin sama orang tua, haha...” ujar ayah satu anak ini sambil tertawa.
Setelah kura-kura, Ibram pun mulai tertarik dengan jenis reptil lainnya, termasuk ular. Ia terus menggeluti hobi ini dan memperbanyak koleksinya, sampai kemudian menggagas pembentukan komunitas reptil pada tahun 2005, bersama dua orang kawannya, Ais dan Hendri. Saat ini sudah berapa banyak koleksi yang ia miliki? Ibram mengernyitkan dahi, “Wah, berapa ya? Nggak tahu deh, banyak sekali, mungkin ratusan.”
Meski saat ini memiliki seorang putra yang baru berusia satu tahun, Ibram sama sekali tidak khawatir dengan banyaknya reptil yang ia pelihara di rumahnya. “Kebanyakan sudah saya pelihara sejak mereka masih bayi. Jadi walaupun sekarang sudah besar, mereka sudah sangat jinak.” Ia kemudian memperkenalkan Susi, seekor piton sebesar betis orang dewasa, dengan panjang lebih dari 2 meter. “Saya pelihara sejak bayi, saat ini usianya 3 tahun. Padahal rata-rata piton bisa hidup sampai dengan usia 20 tahun. Ini belum apa-apa, dia masih terus tumbuh,” katanya sambil menggendong Susi, yang beratnya sudah mencapai hampir 30 kilogram.
Menurutnya, memelihara reptil tidaklah sulit. Mereka cukup diberi makan tikus, marmut, atau ayam 1-2 kali setiap minggu. Reptil lebih menyukai mangsa yang masih hidup. Memelihara reptil juga tidak butuh banyak ruang, karena binatang melata ini tidak banyak bergerak. Cukup diletakkan di kotak-kotak kaca. Dan reptil umumnya berumur panjang, seperti Susi. Harga bayi reptil bervariasi, tergantung corak dan jenisnya. Ada yang hanya seharga 100 ribu rupiah, dan ada juga yang bernilai puluhan juta rupiah. “Misalnya kita beli bayi ular seharga ratusan ribu, kalau kita rawat dengan baik, ketika sudah besar harganya jadi berkali-kali lipat. Atau kalau kita kembangkan, kita breeding dengan corak yang lebih bagus, pasti harga bayinya bisa puluhan juta juga.”
Tetap saja bagi Ibram dan juga kawan-kawan komunitas Reptil-X lainnya, yang paling menarik dari reptil adalah eksotisme corak kulit binatang melata itu. “Keren lah,” katanya.
Apakah reptil-reptil itu sama sekali tidak berbahaya?
“Jarang di kita yang memelihara reptil beracun. Misalnya kobra, ya tidak banyak yang pelihara itu. Karena kita pelihara reptil untuk dinikmati coraknya, dan untuk dipegang seperti ini. Jadi kita lebih pilih yang jinak. Apalagi untuk yang sudah berkeluarga dan punya anak seperti saya, wah beresiko lah (memelihara reptil berbisa).”
Namun hewan tetaplah hewan, yang terkadang bisa bertingkah sangat agresif. Baskoro, salah satu anggota komunitas Reptil-X, menunjukkan bekas gigitan tegu di jari telunjuknya. “Lumayan lah, sempat dijahit juga,” katanya sambil tertawa. Ada pula lecet di lengannya, bekas cakar si tegu. Tapi itu semua sama sekali tidak mengurangi kecintaannya terhadap hewan melata ini. “Biasalah. Ini namanya tanda sayang, hahaha...” katanya, seraya mengelus tegu kesayangannya.
Hari itu, Minggu (16/1) anggota komunitas tersebut sedang berkumpul di rumah salah satu anggotanya, Koko. Mereka berbincang-bincang santai sambil membawa serta hewan kesayangan masing-masing. Ada biawak, tegu (sejenis iguana), dan berbagai jenis ular. Bagi orang yang belum terbiasa, tentu akan bergidik melihat begitu banyak reptil di dalam rumah. Tapi bagi mereka, ini lebih dari sekadar hobi. Mereka sudah begitu menyayangi dan mengagumi binatang-binatang melata ini.
Ya, komunitas Reptil-X adalah wadah bagi para pecinta hewan reptil. Anggota komunitas yang digagas sejak tahun 2005 ini sekarang sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Bali. “Sekarang di Sumatera dan Kalimantan juga sudah mulai banyak yang bergabung,” kata Ibram. Bahkan sejak website reptilx.com diluncurkan pada tahun 2007, makin banyak pula orang yang tertarik bergabung menjadi anggota. “(Untuk jadi anggota) tidak harus punya reptil, siapapun yang tertarik dan membutuhkan informasi mengenai reptil, silakan bergabung,” kata Jojo, juru bicara komunitas.
Saat ini, anggota komunitas reptilX sudah mencapai hampir 7000 orang, berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan mancanegara, seperti Singapura dan Thailand. Tujuan utama dibentuknya komunitas ini adalah memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang hewan reptil. “Masih ada pandangan negatif di masyarakat, bahwa reptil adalah hewan berbahaya, menakutkan, bahkan tak jarang dikaitkan dengan yang mistis-mistis gitu deh. Kita di sini berusaha memberikan informasi kepada masyarakat bahwa reptil adalah hewan eksotis, dan bisa juga jinak seperti ini,” kata Ibram, ketua komunitas Reptil-X sambil mengelus-elus seekor sanca bola dari Afrika yang bergelayut manja di lehernya.
Demi menghapus stigma negatif tentang reptil, komunitas ini menggelar berbagai kegiatan dalam rangka memperkenalkan reptil kepada masyarakat. Mereka kerap menggelar pameran, bazar, kontes reptil, serta berbagai kegiatan sosialisasi. Misalnya, mereka berkunjung ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan hewan reptil sejak dini kepada anak-anak. Anak-anak tersebut diperbolehkan menyentuh, mengelus, bahkan menggendong ular atau iguana yang dibawa ke sekolah mereka. Mereka diajak untuk memahami, bahwa reptil bukanlah hewan menakutkan. Reptil sama seperti hewan lainnya, bisa dipelihara dan dijinakkan, bahkan harus dilestarikan.
Untuk mempererat relasi antar anggota komunitas, Reptil-X juga kerap mengadakan acara internal, seperti kontes reptil maupun lomba foto reptil. “Karena reptil ini punya kekhasan ya, di corak kulitnya. Ular, biawak, iguana, atau tokek, semua punya corak yang unik. Ketika kita bisa memotret dengan teknik yang bagus juga kan, keindahan corak reptil akan semakin terlihat,” jelas Ibram, ketika ditanya soal keistimewaan memotret reptil. Adapun untuk kontes, yang dinilai di antaranya kesehatan reptil, karakteristik (termasuk jinak-tidaknya reptil tersebut), ukuran, dan corak kulit.
Selain untuk memberikan informasi yang tepat tentang reptil kepada masyarakat, sebetulnya tujuan utama dibentuknya komunitas ini adalah untuk menjadi wadah berbagi informasi sesama penggemar reptil. “Sebetulnya orang ‘kan banyak yang pelihara reptil, baik itu kura-kura, ular, iguana, atau biawak. Tapi sebelum ada komunitas ini, mereka ‘kan kebanyakan mengurus sendiri aja di rumah. Kalau hewannya sakit, atau ganti kulit, bingung harus diapain. Nah, di komunitas inilah kita saling bagi info-info macam itu,” jelas Ibram.
Reptil unik hasil breeding
Di komunitas ini, para pemilik reptil juga bisa melakukan breeding (pengembangbiakan) hewan peliharaan mereka. “Misalnya ada yang punya ular jantan, tapi tidak punya yang betina, kan bisa tanya ke anak-anak sini, pasti banyak lah yang punya. Nanti dia bisa pilih, mau induk yang corak dan karakteristiknya seperti apa,” kata Ibram. Menurutnya, saat ini breeding reptil untuk mendapatkan corak kulit yang unik memang sedang tren di kalangan pecinta reptil.
Reptil yang saat ini sedang naik daun adalah sejenis tokek gurun, yang dikenal dengan nama Leopard Gecko. Tokek berukuran 20 cm ini memiliki corak kulit yang unik, ada yang bertotol mirip kulit macan (leopard), loreng bergaris, bahkan ada yang memiliki lebih dari satu warna. Misalnya, ada yang tubuhnya berwarna kuning dengan bintik hitam, namun ekornya berwarna keunguan. Atau ada juga yang seluruh tubuhnya berwarna kuning, namun keempat kakinya berwarna coklat. Semua adalah hasil breeding dengan indukan yang memiliki beragam warna. “Leopard gecko ini gampang sekali di-breeding. Usia 6-8 bulan sudah bisa kawin, dan satu kali pembuahan dia bisa mengeluarkan sepuluh telur. Dan hasilnya seperti ini,” kata Ibram sambil menunjukkan tokek warna-warni tersebut.
Ibram mengatakan, selama ini breeding reptil banyak dilakukan oleh orang luar negeri. Padahal tak jarang para hobbiers mancanegara itu pun mendapatkan indukan dari Indonesia. Menurutnya, Indonesia kaya akan beragam jenis fauna unik, termasuk reptil. Bahkan Indonesia punya banyak satwa endemik. Komunitas ini mengajak para anggotanya untuk melakukan breeding sendiri. “Artinya untuk mendapatkan reptil yang berkualitas nggak harus impor, dengan harga mahal. Malah kalau kita sudah bisa menghasilkan anakan yang berkualitas, kita bisa ekspor. Kemarin bahkan ada kawan di Jogja yang berhasil mengawinkan ular yang beda jenis, sanca dengan piton. Menghasilkan 10 anak, dan tiap ekornya sudah ada yang pesan dengan harga fantastis, Rp 25 juta per ekor. Bayangkan saja,” katanya.
Reptil memang tidak sulit dipelihara. Bahkan jika tahu cara memelihara dan mengembangbiakkan yang tepat, reptil bisa mendatangkan keuntungan. Lalu apa yang masih menjadi kesulitan hingga saat ini? “Pandangan negatif dari masyarakat tentang reptil itulah yang sangat kita sayangkan. Seringkali kalau melihat ular di rumah langsung dibunuh, bahkan dikaitkan dengan yang mistis-mistis. Padahal tidak harus dibunuh, asal kita tahu cara menangkap yang benar, ular atau reptil seperti apapun bisa ditangani,” kata Ibram.
Tanda Sayang
Ibram yang turut menggagas komunitas Reptil-X ini, sudah gemar memelihara reptil sejak masih duduk di bangku SMP. Reptil yang pertama kali ia pelihara adalah kura-kura. Mengapa kura-kura? “Karena untuk pemula, kura-kura memang yang paling mudah diizinin sama orang tua, haha...” ujar ayah satu anak ini sambil tertawa.
Setelah kura-kura, Ibram pun mulai tertarik dengan jenis reptil lainnya, termasuk ular. Ia terus menggeluti hobi ini dan memperbanyak koleksinya, sampai kemudian menggagas pembentukan komunitas reptil pada tahun 2005, bersama dua orang kawannya, Ais dan Hendri. Saat ini sudah berapa banyak koleksi yang ia miliki? Ibram mengernyitkan dahi, “Wah, berapa ya? Nggak tahu deh, banyak sekali, mungkin ratusan.”
Meski saat ini memiliki seorang putra yang baru berusia satu tahun, Ibram sama sekali tidak khawatir dengan banyaknya reptil yang ia pelihara di rumahnya. “Kebanyakan sudah saya pelihara sejak mereka masih bayi. Jadi walaupun sekarang sudah besar, mereka sudah sangat jinak.” Ia kemudian memperkenalkan Susi, seekor piton sebesar betis orang dewasa, dengan panjang lebih dari 2 meter. “Saya pelihara sejak bayi, saat ini usianya 3 tahun. Padahal rata-rata piton bisa hidup sampai dengan usia 20 tahun. Ini belum apa-apa, dia masih terus tumbuh,” katanya sambil menggendong Susi, yang beratnya sudah mencapai hampir 30 kilogram.
Menurutnya, memelihara reptil tidaklah sulit. Mereka cukup diberi makan tikus, marmut, atau ayam 1-2 kali setiap minggu. Reptil lebih menyukai mangsa yang masih hidup. Memelihara reptil juga tidak butuh banyak ruang, karena binatang melata ini tidak banyak bergerak. Cukup diletakkan di kotak-kotak kaca. Dan reptil umumnya berumur panjang, seperti Susi. Harga bayi reptil bervariasi, tergantung corak dan jenisnya. Ada yang hanya seharga 100 ribu rupiah, dan ada juga yang bernilai puluhan juta rupiah. “Misalnya kita beli bayi ular seharga ratusan ribu, kalau kita rawat dengan baik, ketika sudah besar harganya jadi berkali-kali lipat. Atau kalau kita kembangkan, kita breeding dengan corak yang lebih bagus, pasti harga bayinya bisa puluhan juta juga.”
Tetap saja bagi Ibram dan juga kawan-kawan komunitas Reptil-X lainnya, yang paling menarik dari reptil adalah eksotisme corak kulit binatang melata itu. “Keren lah,” katanya.
Apakah reptil-reptil itu sama sekali tidak berbahaya?
“Jarang di kita yang memelihara reptil beracun. Misalnya kobra, ya tidak banyak yang pelihara itu. Karena kita pelihara reptil untuk dinikmati coraknya, dan untuk dipegang seperti ini. Jadi kita lebih pilih yang jinak. Apalagi untuk yang sudah berkeluarga dan punya anak seperti saya, wah beresiko lah (memelihara reptil berbisa).”
Namun hewan tetaplah hewan, yang terkadang bisa bertingkah sangat agresif. Baskoro, salah satu anggota komunitas Reptil-X, menunjukkan bekas gigitan tegu di jari telunjuknya. “Lumayan lah, sempat dijahit juga,” katanya sambil tertawa. Ada pula lecet di lengannya, bekas cakar si tegu. Tapi itu semua sama sekali tidak mengurangi kecintaannya terhadap hewan melata ini. “Biasalah. Ini namanya tanda sayang, hahaha...” katanya, seraya mengelus tegu kesayangannya.
Gmana sih dikawinin Phyton sama Sanca...?phyhton itu sanca ... klo bikin artikel yg bener ...Copas si ni kayaknya...!!!?
BalasHapus