Desa Tanjungsari Barat, Subang: Kesan Pertama
Matahari pagi masih bersinar malu-malu saat kami keluar kamar dan memulai hari dengan berdoa, semoga perjalanan ke Subang berjalan lancar. Ya, hari itu kami, Nisa Hurin, Chesara Novatiano, Novitasari dan saya sendiri sebagai perwakilan dari peserta KKNM Unpad Desa Tanjungsari Barat, Kecamatan Cikaum, Subang, memang berencana survei lokasi. Empat cewek tangguh ini berangkat dari Jatinangor menuju Subang bermodalkan semangat, nekat, dan sedikit ingatan lokasi dari Google Map. Meski sempat diwarnai insiden pecah ban, perjalanan kami tetap dilanjutkan!
Pukul 10 pagi, mobil kami meluncur meninggalkan Jatinangor menuju Rancakalong. Ini adalah salah satu jalan alternatif menuju Subang. Jaraknya kurang lebih 40 kilometer. Awal perjalanan kami masih disuguhi pemandangan indah. Barisan bukit hijau, sungai-sungai jernih, kebun teh, kebun karet, dan tentu saja nanas Subang yang dijual di sepanjang jalan Subang. Nanas Subang memang sudah terkenal, ukurannya besar, berwarna oranye, plus “madu” sebagai pemanis alami, hmm...nikmat sekali!
Ups, maaf! Cuaca yang terik di Subang ini membuat pikiran saya “ngelantur” jadi membayangkan segarnya buah nanas. Pukul 12 kami sampai di daerah Majasari, kampung halaman Novita. Kami mampir sejenak, dan pamannya yang baik hati bersedia mengantarkan kami sampai ke Desa Tanjungsari Barat! Wow, baiknya! Bibinya tak kalah ramah, ia membekali kami satu plastik penuh opak beureum, makanan khas Subang. Ini pertama kalinya saya dan Che mencoba makanan itu, hmm...dan kami ketagihan!
Opak beureum adalah makanan renyah yang terbuat dari ketan yang dibakar, berbentuk bulat besar. Bedanya dengan opak yang biasa saya temui dari daerah lain, opak beureum ini menggunakan tambahan gula merah, sehingga rasanya manis. Teksturnya lembut sekali sehingga sangat renyah ketika digigit, menimbulkan suara halus, kresss..... nyam nyam!
Setelah solat zuhur, kami melanjutkan perjalanan lewat Purwodadi. Daerah ini sebagian besar terdiri dari ladang tebu, jadi ya semakin gersang dan panas saja! Kami berputar-putar, salah jalan, tanya sana-sini (pendek kata kami nyasar). Singkat cerita, pukul 4 sore kami baru berhasil menemukan Desa Tanjungsari Barat. Sudah kucel tak terkira tampang kami saat itu. Tapi pemandangan desa sore hari dan senyum ramah penduduknya sudah lebih dari cukup untuk bisa menyejukkan hati kami.
Balai desa tampak ramai sore itu. Anak-anak bermain sepeda, remaja bermain bola voli di lapangan. Ketika kami datang, Bapak Surlan, Kepala Desa Tanjungsari Barat sedang bersantai di bawah pohon rindang depan kantor desa, sambil berbincang-bincang dengan beberapa warganya. Ia langsung menyambut dan menjamu kami dengan sate dan sop kambing, yang serta merta membangkitkan lagi energi kami yang terkuras seharian. Setelah kenyang, beliau mengajak kami berkeliling desa sekaligus mencari tempat tinggal untuk kami selama satu bulan nanti.
Kami langsung menangkap kesan pertama yang positif tentang desa ini. Betapa tidak, saat pertama memasuki desa kita sudah disambut gemericik sungai saluran irigasi. Arus air ini berasal dari waduk Jatiluhur, mengalir mengairi persawahan warga. Hasilnya, hamparan permadani hijau pun terbentang luas di desa ini. Pohon-pohon tumbuh subur di kebun. Air selalu membawa kehidupan.
Bapak Kepala Desa yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Lurah membawa kami ke rumahnya yang asri. Di halaman depan berbagai tanaman hias tertata rapi. Bu Lurah yang ramah menyambut kami dengan hangat, dan lagi, kami ditawari opak beureum. Tak lama setelah itu, Bu Anis, adik perempuan Pak Lurah datang membawakan kami sekantung tape ketan. Tape ketan adalah sejenis makanan legit yang dibungkus menggunakan daun jati. Aromanya sangat khas.
Sayangnya kami tak bisa tinggal lebih lama, karena hari mulai gelap. Usai solat magrib, kami langsung berpamitan. Pak Lurah dan istrinya membekali kami banyak oleh-oleh untuk di jalan. Kami pun meluncur keluar desa dan bersiap untuk perjalanan pulang. Lembayung senja masih menggantung, terpantul indah di riak air irigasi. Para petani pulang dari kebun. Kambing ternak pun mulai digiring masuk kandang. Sungguh pemandangan yang sangat menyejukkan, terutama bagi kami yang biasa tinggal di tengah hiruk-pikuk kota.
Sampai jumpa Tanjungsari Barat, minggu depan kami kembali lagi!
Pukul 10 pagi, mobil kami meluncur meninggalkan Jatinangor menuju Rancakalong. Ini adalah salah satu jalan alternatif menuju Subang. Jaraknya kurang lebih 40 kilometer. Awal perjalanan kami masih disuguhi pemandangan indah. Barisan bukit hijau, sungai-sungai jernih, kebun teh, kebun karet, dan tentu saja nanas Subang yang dijual di sepanjang jalan Subang. Nanas Subang memang sudah terkenal, ukurannya besar, berwarna oranye, plus “madu” sebagai pemanis alami, hmm...nikmat sekali!
Ups, maaf! Cuaca yang terik di Subang ini membuat pikiran saya “ngelantur” jadi membayangkan segarnya buah nanas. Pukul 12 kami sampai di daerah Majasari, kampung halaman Novita. Kami mampir sejenak, dan pamannya yang baik hati bersedia mengantarkan kami sampai ke Desa Tanjungsari Barat! Wow, baiknya! Bibinya tak kalah ramah, ia membekali kami satu plastik penuh opak beureum, makanan khas Subang. Ini pertama kalinya saya dan Che mencoba makanan itu, hmm...dan kami ketagihan!
Opak beureum adalah makanan renyah yang terbuat dari ketan yang dibakar, berbentuk bulat besar. Bedanya dengan opak yang biasa saya temui dari daerah lain, opak beureum ini menggunakan tambahan gula merah, sehingga rasanya manis. Teksturnya lembut sekali sehingga sangat renyah ketika digigit, menimbulkan suara halus, kresss..... nyam nyam!
Setelah solat zuhur, kami melanjutkan perjalanan lewat Purwodadi. Daerah ini sebagian besar terdiri dari ladang tebu, jadi ya semakin gersang dan panas saja! Kami berputar-putar, salah jalan, tanya sana-sini (pendek kata kami nyasar). Singkat cerita, pukul 4 sore kami baru berhasil menemukan Desa Tanjungsari Barat. Sudah kucel tak terkira tampang kami saat itu. Tapi pemandangan desa sore hari dan senyum ramah penduduknya sudah lebih dari cukup untuk bisa menyejukkan hati kami.
Balai desa tampak ramai sore itu. Anak-anak bermain sepeda, remaja bermain bola voli di lapangan. Ketika kami datang, Bapak Surlan, Kepala Desa Tanjungsari Barat sedang bersantai di bawah pohon rindang depan kantor desa, sambil berbincang-bincang dengan beberapa warganya. Ia langsung menyambut dan menjamu kami dengan sate dan sop kambing, yang serta merta membangkitkan lagi energi kami yang terkuras seharian. Setelah kenyang, beliau mengajak kami berkeliling desa sekaligus mencari tempat tinggal untuk kami selama satu bulan nanti.
Kami langsung menangkap kesan pertama yang positif tentang desa ini. Betapa tidak, saat pertama memasuki desa kita sudah disambut gemericik sungai saluran irigasi. Arus air ini berasal dari waduk Jatiluhur, mengalir mengairi persawahan warga. Hasilnya, hamparan permadani hijau pun terbentang luas di desa ini. Pohon-pohon tumbuh subur di kebun. Air selalu membawa kehidupan.
Bapak Kepala Desa yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Lurah membawa kami ke rumahnya yang asri. Di halaman depan berbagai tanaman hias tertata rapi. Bu Lurah yang ramah menyambut kami dengan hangat, dan lagi, kami ditawari opak beureum. Tak lama setelah itu, Bu Anis, adik perempuan Pak Lurah datang membawakan kami sekantung tape ketan. Tape ketan adalah sejenis makanan legit yang dibungkus menggunakan daun jati. Aromanya sangat khas.
Sayangnya kami tak bisa tinggal lebih lama, karena hari mulai gelap. Usai solat magrib, kami langsung berpamitan. Pak Lurah dan istrinya membekali kami banyak oleh-oleh untuk di jalan. Kami pun meluncur keluar desa dan bersiap untuk perjalanan pulang. Lembayung senja masih menggantung, terpantul indah di riak air irigasi. Para petani pulang dari kebun. Kambing ternak pun mulai digiring masuk kandang. Sungguh pemandangan yang sangat menyejukkan, terutama bagi kami yang biasa tinggal di tengah hiruk-pikuk kota.
Sampai jumpa Tanjungsari Barat, minggu depan kami kembali lagi!
Haha, iseng aku ketik, Desa Tanjungsari Barat eh ada link di blog ini, sesuatu yang kebetulan memang, otak aku kembali berputar pada masa tahun 2010 ada anak KKN dari Unpad yang dipimpin oleh Andy kalau ga salah, dan aku dulu adalah sebagai sekretaris Karang Taruna di Desaku, tulisanmu bagus, adakah cerita lain tentang Tanjungsari Barat ?
BalasHapusTerimakasih atas ceritanya Ken. Sunggu masa2 kkn adalah 5 tahun lalu yang tak terlupakan :)
BalasHapus