Jurnalisme Sastrawi
Dalam dunia jurnalistik, dikenal tiga jenis berita: berita langsung (straight news), berita khas (feature news), dan berita mendalam (depth news). Berita langsung disajikan dengan gaya yang lugas, kering, hampir tak berwarna. Wartawan menjaga jarak dengan objek liputan, dan tidak memaknai berita yang ditulisnya. Adapun berita mendalam biasanya ditulis menggunakan gaya berkisah, berupa laporan paket yang terdiri dari beberapa judul tulisan. Ia bersifat multidimensional (komprehensif), mendalam, komparatif, historis, terinci, interpretatif, proyektif, dan tidak konklusif.
Dalam berita khas wartawan menyajikan sebuah peristiwa atau fakta menggunakan gaya berkisah yang menarik. Fakta-fakta disajikan dengan sikap kreatif dan subjektif wartawan. Ia dapat memaknai sebuah peristiwa atau fakta secara langsung atau tidak langsung, agar khalayak dapat melihat konteks dan maknanya. Pengemasan seperti ini menjadikan umur berita khas lebih lama.
Daniel R. Williamson dalam buku Feature Writing for Newspapers (1975) menulis: “A feature story is a creative, sometimes subjective, article designed primarily to entertain and to informreaders of an event, a situation or an aspect of life.” Menurut Goenawan Mohamad dan Slamet Djabarudi, definisi Daniel mengandung empat hal pokok: kreativitas, subjektivitas, informatif, dan meghibur. Mereka juga mengungkapkan keunggulan lain feature news yaitu awet.
Riyono Pratikto dalam Kreatif Menulis Feature menegaskan, feature adalah suatu tulisan jurnalistik dengan semua dasar-dasar penyusunan karya jurnalistik. Yang membedakannya dengan berita langsung adalah, ia juga lazim disusun dengan dasar-dasar sastra. Apabila jurnalistik dan sastra masing-masing digambarkan sebagai dua lingkaran yang saling berpotongan, maka feature adalah daerah arsirannya.
Dalam in-depth reporting atau pelaporan mendalam, wartawan juga umumnya bisa menggunakan gaya berkisah layaknya feature. Bedanya, pelaporan mendalam tulisannya lebih panjang, karena sifatnya yang komprehensif, multidimensional, bahkan historis. Pelaporan mendalam biasanya berupa satu paket tulisan, terdiri dari beberapa tulisan pendek mirip feature. Dituturkan dengan gaya berkisah juga. Penulisan berita macam ini; dengan gaya menulis fiksi, juga dikenal dengan nama jurnalisme sastrawi. Apa itu jurnalisme sastrawi? Bagaimana awal mulanya?
Ada yang mengatakan, genre jurnalisme ini adalah jawaban media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan internet. Surat kabar tak bisa bersaing dengan media elektronik dalam hal kecepatan. Ia justru bisa berkembang bila menyajikan berita yang dalam dan analitis. Di mana sebuah berita dirangkai layaknya kisah dalam novel, inilah jurnalisme sastrawi.
Empat Alat Jurnalisme Sastrawi
1. Penyusunan Adegan
Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan demi adegan, atau suasana demi suasana. Teknik pengisahan suasana demi suasana, membuat pembaca larut dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru. Untuk melaporkan suatu berita secara lengkap, kerja jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan pengamatan melebihi reporter biasa.
2. Dialog
Setiap orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan sesuatu”, dan apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita”. Dengan teknik “dialog” ini, jurnalis sastra coba menjelaskan peristiwa yang hendak dilaporkannya. Bagaimana yang terjadi, itu yang disampaikan. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba memancing rasa keingintahuan pembaca.
3. Sudut Pandang Orang Ketiga
Dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang disekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya berita. Sudut pandang bisa didapat dari orang yang diajak berdialog. Dalam pelaporan jenis ini, sudut pandang tidak hanya satu tetapi bisa sampai tiga. Orang ketiga bisa jadi tokoh utama dalam berita, tetapi bisa juga sebagai orang yang berada di sekitar kejadian dan tengah melaporkan hasil pengamatan jurnalistik.
4. Mencatat Detail
Semua hal dicatat dengan terperinci; yaitu perilaku, adat istiadat kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan wisata, makanan dan lain-lain. Jurnalisme diharuskan untuk lebih meriilkan realitas peristiwa-berita dan dengan kesungguhan menampilkan kenyataan yang murni dalam pelbagai segi.
Elemen jurnalisme sastra menurut Farid Gaban
1. Akurasi, membuat penulis kredibel.
2. Keterlibatan, memadu reporter untuk menyajikan detail yang merupakan kunci untuk menggugah emosi pembaca.
3. Struktur, tulisan harus mampu menggelar suasana, merancang irama dan memberikan impact yang kuat kepada pembaca.
4. Suara, dalam artian posisi penulis dalam tulisan tersebut.
5. Tanggung jawab, penulis harus mampu menampilkan nilai pertanggung jawaban.
6. Simbolisme, setiap fakta yang kecil sekalipun merupakan gagasan yang sengaja disusun karena terkait makna yang lebih dalam
Pro dan Kontra
Kebanyakan materi tentang jurnalisme sastrawi, definisi dan karakteristiknya, memang ditulis dalam kurun waktu 1970-1980 ketika Tom Wolfe menulis The New Journalism. Setelah Tom, ada James E. Murphy yang menulis artikel “The New Journalism: A Critical Perspective” yang disiapkan untuk Asosiasi Pembelajaran Jurnalistik pada 1974. Tulisan Murphy ini merupakan satu bentuk kritik terhadap konsep “new journalism” yang ditawarkan Wolfe.
Selain itu, muncul pula Ronald Weber dengan bukunya The Literature of Fact dan The Reporter as Artist: A Look at The New Journalism Controversy. Masing-masing karyanya berupa penilaian yang detil terhadap aspek-aspek yang diperdebatkan dalam jurnalisme sastrawi. Kevin Kerrane tak mau kalah, ia mengembangkan kembali konsep-konsep yang dipaparkan Wolfe pada 1960-an, dalam buku Making Facts Dance (1997). Begitu pula Chris Harvey dengan bukunya Tom Wolfe’s Revenge: The Renewed Interest in Literary Journalism yang meyuarakan isu seputar jurnalisme sastrawi di masa kini.
Konsep jurnalisme baru atau jurnalisme sastrawi ini menjadi satu hal yang paling banyak diperdebatkan. Pasalnya, ia sangat berbeda dengan standar reportase biasa yang memiliki karakteristik objektif, bahasa yang langsung, dan ditulis dengan bentuk piramida. Jurnalisme sastrawi menyampaikan fakta dengan sebuah narasi layaknya membacakan cerita dan menggunakan pendekatan serta teknik penulisan sastra.
Perdebatan lain seputar jurnalisme sastrawi yaitu perihal detil (rincian) dan penyajian fakta. Situasi dalam jurnalisme sastrawi seolah dibentuk agar reporter bisa menambah-nambahkan fakta dan membuat subjektivitas dalam ceritanya. Dalam beberapa kasus, penulis bisa terjebak dalam penilaian yang subjektif terhadap suatu situasi.
Argumen lain menyatakan bahwa jurnalisme sastrawi bukanlah genre yang unik, karena mencerminkan gaya menulis yang beragam dan tidak mempunyai bentuk yang berbeda dengan yang lain. Dalam Columbia Journalism Review, Jack Newfield menyatakan bahwa jurnalisme baru (jurnalisme sastrawi) adalah ide yang salah. Baginya hanya ada penulisan yang bagus dan buruk, ide cerdas dan ide bodoh, kerja keras dan malas. Dan jurnalisme baru termasuk ke dalam ide yang bodoh/salah.
Andreas Harsono menjelaskan, jurnalisme sastrawi (literary journalism) menggabungkan disiplin paling berat dalam jurnalisme serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam karya fiksi. Dan jurnalisme sastrawi bukan naskah yang ditulis dengan kata-kata mendayu-dayu atau puitis. Dalam blognya, Andreas menulis: “Sangat sedikit wartawan atau sastrawan yang bisa menulis fakta dengan metode reportase ketat dan presentasi indah.” Tulisan jurnalis-jurnalis terbaik Indonesia yang sukses memikat lewat genre ini bisa kita nikmati dalam buku “Jurnalisme Sastrawi” terbitan Yayasan Pantau (2005). Mereka di antaranya Linda Christanty, Chik Rini, Alfian Hamzah, Agus Sopian, dan tentu saja Andreas Harsono.
Menurut Asep Syamsul M. Romli dalam buku Jurnalistik Terapan, feature atau berita khas termasuk dalam aliran “New Journalism”, yaitu teknik penulisan karya jurnalistik bergaya sastra, memerlukan gabungan dari keterampilan laporan interpretatif dengan teknik penulisan karya fiksi.
Budiman S. Hartoyo, menjelaskan jurnalisme sastrawi sebagai jurnalisme yang ditulis dengan gaya berkisah (mendekati atau agak mirip) dengan (gaya) menulis sastra. Maksudnya, bukan "bersastra-sastra", atau "memfiksikan fakta" (yang mustahil), melainkan menuturkan atau menggambarkan suatu fakta secara detil dan relevan dengan bahasa yang benar dan bagus. Tapi ia lebih cenderung menyebut genre ini sebagai jurnalisme literair. Ia menulis demikian:
“Saya tidak sepakat dengan penamaan "jurnalisme sastrawi". Saya lebih menyukai jurnalisme literair karena lebih mendekati penamaan aslinya, yaitu literary journalism. Untuk memahami, apalagi menulis dengan gaya jurnalisme literair, tidaklah mudah. Sangat sulit! Wartawan yang ingin menulis (dengan gaya) jurnalisme literair, terlebih dahulu harus mampu menulis feature, sedangkan wartawan yang ingin menulis feature terlebih dulu harus mampu menulis berita yang konvensional, mulai dari straight news dan berita yang ditulis dengan metode "piramida terbalik" -- yang semuanya harus mengandung unsur 5-W dan 1-H, yang juga disebut sebagai jurnalisme dasar (basic journalism).”
Fakta, Fakta, Fakta!
Jurnalisme sastrawi bukan reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Jurnalisme sastrawi juga tidak berada di ranah sastra, apalagi fiksi. Ia hanya boleh berada di ranah fakta. Wartawan tidak boleh menggunakan imajinasinya untuk mengarang cerita dalam tulisan jurnalisme sastrawi. Yang harus digunakan ialah kreativitas dalam menyusun kisah yang enak dibaca. Kisah, yang semua berdasarkan fakta.
Ada yang menyandingkan jurnalisme sastrawi dengan novel sejarah. Novel dianggap mewakili sastra, dan sejarah dianggap mewakili jurnalisme. Sebetulnya ini adalah dua hal yang amat berbeda. Sejarah, sejauh ia terbukti benar, tak ditambah dan tak dikurang, maka ia adalah fakta. Namun ketika ia ditambah atau dikurangi, memakai nama samaran dan karakter fiktif, ia tak lagi menjadi fakta.
Karya-karya fiksi Mochtar Lubis atau Pramoedya Ananta Toer yang berlatar sejarah misalnya, tidak bisa dijadikan sumber primer. Meskipun memang menggambarkan situasi sosial di masa lalu, nama karakter, kejadian, dan sebagainya harus diverifikasi. “Tak boleh ada khayalan atau fiksi satu titik pun.” Kata Andreas.
Chik Rini, ketika diwawancarai perihal narasinya yang mengagumkan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” juga memastikan, setiap detail dalam tulisannya adalah fakta. Mulai dari suasana terminal Lhokseumawe, sampai percakapan antara dua orang, semua bisa ia pastikan kebenarannya. Chik Rini berpendapat sama dengan Andreas, bahwa jurnalisme sastrawi tetaplah sebuah karya jurnalistik yang harus berdasarkan fakta, hingga ke tiap detail deskripsinya.
Jurnalisme Sastrawi di Era Internet
Di era teknologi komunikasi dan informasi sekarang ini, terdapat peluang besar untuk memperluas dan meningkatkan konsumsi online nonfiksi di internet. Terutama dengan fenomena majalah dan surat kabar utama yang berlomba menyediakan konten di Web yang bersifat menarik dalam batas-batas dunia maya. Fitur-fitur dari Web tersebutlah yang menerapkan karakteristik jurnalisme sastra.
Karakteristik yang dimaksud dalam hal ini adalah karakteristik yang diungkapkan oleh James E. Murphy, yakni menggunakan teknik sastra dramatis, subjektivitas, dan perendaman.
Salah satu contoh web yang mengaplikasikan jurnalisme sastrawi adalah situs Blackhawk Down. Sebuah novel karya Mark Bowden tentang peran serta Amerika dalam perang di Somalia. Situs ini berisi 29 bagian dengan detail latar belakang dan analisisnya masing-masing. Setiap bagian dilengkapi dengan link yang akan mempermudah pembaca memahami arti-arti istilah yang dimuatnya.
Jurnalisme sastrawi memiliki prospek tersendiri dalam dunia internet. Keuntungan utama dari internet adalah kita dapat mempublikasikan karya kita dengan sangat cepat. Secara umum, masa depan jurnalisme sastra di media internet cukup menjanjikan. Hanya saja, ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan.
Pertama, perihal penempatan karya kita di situs-situs yang memiliki banyak pembaca. Tentu kita harus menempatkan tulisan di media yang paling banyak diakses. Kedua, bagaimana caranya membuat tulisan panjang kita tetap menarik dan mudah dibaca tanpa harus menyusahkan si pembaca karena harus terus menerus melakukan scrolling pada mouse-nya.
Masa Depan Jurnalisme Sastrawi di Indonesia
Atmakusumah Astraatmaadja, dalam sebuah diskusinya dengan Andreas Harsono, mengaku pesimis genre ini bisa berkembang di Indonesia. Pasalnya, kebanyakan media di sini bermodal kecil, dengan pengasuh dan wartawan yang sangat sedikit jumlahnya. Harian di Papua, Palu, Kendari, ada yang diasuh oleh 3-5 wartawan saja. Jumlah wartawan Indonesia pada masa Soeharto hanya sekitar 7.000, mengasuh hampir 300 media cetak. Sekarang, paling-paling wartawan bertambah jadi 10.000 orang. Bandingkan dengan di Jerman, misalnya, yang memiliki 90.000 wartawan, termasuk 40.000 wartawan freelance.
Astraatmadja mengatakan, media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas –yang memerlukan lebih banyak waktu untuk membuatnya. Tenaga wartawan sangat kurang, padahal media seharusnya mampu menyisihkan sebagian wartawannya untuk mengerjakan investigative reporting, in-depth reporting, dan jurnalisme baru.
Pendapat senada juga datang dari Andreas Harsono. Menurutnya, jurnalisme sastrawi sulit berkembang di Indonesia karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Memang ada media yang memberi kesempatan menulis panjang, macam majalah Sastra, Horizon, Kalam, Basis, atau Intisari. Itupun kebanyakan berupa esai, dan media-media tersebut pun bukanlah media mainstream. Padahal genre ini membutuhkan ruang yang banyak pada sebuah media.
****
tugas kelompok jurnalisme kontemporer Ken, Ami, Hani, dan Agnes. Bersumber dari berbagai bahan bacaan dan wawancara langsung dengan Andreas Harsono dan Chik Rini.
Dalam berita khas wartawan menyajikan sebuah peristiwa atau fakta menggunakan gaya berkisah yang menarik. Fakta-fakta disajikan dengan sikap kreatif dan subjektif wartawan. Ia dapat memaknai sebuah peristiwa atau fakta secara langsung atau tidak langsung, agar khalayak dapat melihat konteks dan maknanya. Pengemasan seperti ini menjadikan umur berita khas lebih lama.
Daniel R. Williamson dalam buku Feature Writing for Newspapers (1975) menulis: “A feature story is a creative, sometimes subjective, article designed primarily to entertain and to informreaders of an event, a situation or an aspect of life.” Menurut Goenawan Mohamad dan Slamet Djabarudi, definisi Daniel mengandung empat hal pokok: kreativitas, subjektivitas, informatif, dan meghibur. Mereka juga mengungkapkan keunggulan lain feature news yaitu awet.
Riyono Pratikto dalam Kreatif Menulis Feature menegaskan, feature adalah suatu tulisan jurnalistik dengan semua dasar-dasar penyusunan karya jurnalistik. Yang membedakannya dengan berita langsung adalah, ia juga lazim disusun dengan dasar-dasar sastra. Apabila jurnalistik dan sastra masing-masing digambarkan sebagai dua lingkaran yang saling berpotongan, maka feature adalah daerah arsirannya.
Dalam in-depth reporting atau pelaporan mendalam, wartawan juga umumnya bisa menggunakan gaya berkisah layaknya feature. Bedanya, pelaporan mendalam tulisannya lebih panjang, karena sifatnya yang komprehensif, multidimensional, bahkan historis. Pelaporan mendalam biasanya berupa satu paket tulisan, terdiri dari beberapa tulisan pendek mirip feature. Dituturkan dengan gaya berkisah juga. Penulisan berita macam ini; dengan gaya menulis fiksi, juga dikenal dengan nama jurnalisme sastrawi. Apa itu jurnalisme sastrawi? Bagaimana awal mulanya?
Ada yang mengatakan, genre jurnalisme ini adalah jawaban media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan internet. Surat kabar tak bisa bersaing dengan media elektronik dalam hal kecepatan. Ia justru bisa berkembang bila menyajikan berita yang dalam dan analitis. Di mana sebuah berita dirangkai layaknya kisah dalam novel, inilah jurnalisme sastrawi.
Empat Alat Jurnalisme Sastrawi
1. Penyusunan Adegan
Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan demi adegan, atau suasana demi suasana. Teknik pengisahan suasana demi suasana, membuat pembaca larut dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru. Untuk melaporkan suatu berita secara lengkap, kerja jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan pengamatan melebihi reporter biasa.
2. Dialog
Setiap orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan sesuatu”, dan apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita”. Dengan teknik “dialog” ini, jurnalis sastra coba menjelaskan peristiwa yang hendak dilaporkannya. Bagaimana yang terjadi, itu yang disampaikan. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba memancing rasa keingintahuan pembaca.
3. Sudut Pandang Orang Ketiga
Dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang disekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya berita. Sudut pandang bisa didapat dari orang yang diajak berdialog. Dalam pelaporan jenis ini, sudut pandang tidak hanya satu tetapi bisa sampai tiga. Orang ketiga bisa jadi tokoh utama dalam berita, tetapi bisa juga sebagai orang yang berada di sekitar kejadian dan tengah melaporkan hasil pengamatan jurnalistik.
4. Mencatat Detail
Semua hal dicatat dengan terperinci; yaitu perilaku, adat istiadat kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan wisata, makanan dan lain-lain. Jurnalisme diharuskan untuk lebih meriilkan realitas peristiwa-berita dan dengan kesungguhan menampilkan kenyataan yang murni dalam pelbagai segi.
Elemen jurnalisme sastra menurut Farid Gaban
1. Akurasi, membuat penulis kredibel.
2. Keterlibatan, memadu reporter untuk menyajikan detail yang merupakan kunci untuk menggugah emosi pembaca.
3. Struktur, tulisan harus mampu menggelar suasana, merancang irama dan memberikan impact yang kuat kepada pembaca.
4. Suara, dalam artian posisi penulis dalam tulisan tersebut.
5. Tanggung jawab, penulis harus mampu menampilkan nilai pertanggung jawaban.
6. Simbolisme, setiap fakta yang kecil sekalipun merupakan gagasan yang sengaja disusun karena terkait makna yang lebih dalam
Pro dan Kontra
Kebanyakan materi tentang jurnalisme sastrawi, definisi dan karakteristiknya, memang ditulis dalam kurun waktu 1970-1980 ketika Tom Wolfe menulis The New Journalism. Setelah Tom, ada James E. Murphy yang menulis artikel “The New Journalism: A Critical Perspective” yang disiapkan untuk Asosiasi Pembelajaran Jurnalistik pada 1974. Tulisan Murphy ini merupakan satu bentuk kritik terhadap konsep “new journalism” yang ditawarkan Wolfe.
Selain itu, muncul pula Ronald Weber dengan bukunya The Literature of Fact dan The Reporter as Artist: A Look at The New Journalism Controversy. Masing-masing karyanya berupa penilaian yang detil terhadap aspek-aspek yang diperdebatkan dalam jurnalisme sastrawi. Kevin Kerrane tak mau kalah, ia mengembangkan kembali konsep-konsep yang dipaparkan Wolfe pada 1960-an, dalam buku Making Facts Dance (1997). Begitu pula Chris Harvey dengan bukunya Tom Wolfe’s Revenge: The Renewed Interest in Literary Journalism yang meyuarakan isu seputar jurnalisme sastrawi di masa kini.
Konsep jurnalisme baru atau jurnalisme sastrawi ini menjadi satu hal yang paling banyak diperdebatkan. Pasalnya, ia sangat berbeda dengan standar reportase biasa yang memiliki karakteristik objektif, bahasa yang langsung, dan ditulis dengan bentuk piramida. Jurnalisme sastrawi menyampaikan fakta dengan sebuah narasi layaknya membacakan cerita dan menggunakan pendekatan serta teknik penulisan sastra.
Perdebatan lain seputar jurnalisme sastrawi yaitu perihal detil (rincian) dan penyajian fakta. Situasi dalam jurnalisme sastrawi seolah dibentuk agar reporter bisa menambah-nambahkan fakta dan membuat subjektivitas dalam ceritanya. Dalam beberapa kasus, penulis bisa terjebak dalam penilaian yang subjektif terhadap suatu situasi.
Argumen lain menyatakan bahwa jurnalisme sastrawi bukanlah genre yang unik, karena mencerminkan gaya menulis yang beragam dan tidak mempunyai bentuk yang berbeda dengan yang lain. Dalam Columbia Journalism Review, Jack Newfield menyatakan bahwa jurnalisme baru (jurnalisme sastrawi) adalah ide yang salah. Baginya hanya ada penulisan yang bagus dan buruk, ide cerdas dan ide bodoh, kerja keras dan malas. Dan jurnalisme baru termasuk ke dalam ide yang bodoh/salah.
Andreas Harsono menjelaskan, jurnalisme sastrawi (literary journalism) menggabungkan disiplin paling berat dalam jurnalisme serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam karya fiksi. Dan jurnalisme sastrawi bukan naskah yang ditulis dengan kata-kata mendayu-dayu atau puitis. Dalam blognya, Andreas menulis: “Sangat sedikit wartawan atau sastrawan yang bisa menulis fakta dengan metode reportase ketat dan presentasi indah.” Tulisan jurnalis-jurnalis terbaik Indonesia yang sukses memikat lewat genre ini bisa kita nikmati dalam buku “Jurnalisme Sastrawi” terbitan Yayasan Pantau (2005). Mereka di antaranya Linda Christanty, Chik Rini, Alfian Hamzah, Agus Sopian, dan tentu saja Andreas Harsono.
Menurut Asep Syamsul M. Romli dalam buku Jurnalistik Terapan, feature atau berita khas termasuk dalam aliran “New Journalism”, yaitu teknik penulisan karya jurnalistik bergaya sastra, memerlukan gabungan dari keterampilan laporan interpretatif dengan teknik penulisan karya fiksi.
Budiman S. Hartoyo, menjelaskan jurnalisme sastrawi sebagai jurnalisme yang ditulis dengan gaya berkisah (mendekati atau agak mirip) dengan (gaya) menulis sastra. Maksudnya, bukan "bersastra-sastra", atau "memfiksikan fakta" (yang mustahil), melainkan menuturkan atau menggambarkan suatu fakta secara detil dan relevan dengan bahasa yang benar dan bagus. Tapi ia lebih cenderung menyebut genre ini sebagai jurnalisme literair. Ia menulis demikian:
“Saya tidak sepakat dengan penamaan "jurnalisme sastrawi". Saya lebih menyukai jurnalisme literair karena lebih mendekati penamaan aslinya, yaitu literary journalism. Untuk memahami, apalagi menulis dengan gaya jurnalisme literair, tidaklah mudah. Sangat sulit! Wartawan yang ingin menulis (dengan gaya) jurnalisme literair, terlebih dahulu harus mampu menulis feature, sedangkan wartawan yang ingin menulis feature terlebih dulu harus mampu menulis berita yang konvensional, mulai dari straight news dan berita yang ditulis dengan metode "piramida terbalik" -- yang semuanya harus mengandung unsur 5-W dan 1-H, yang juga disebut sebagai jurnalisme dasar (basic journalism).”
Fakta, Fakta, Fakta!
Jurnalisme sastrawi bukan reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Jurnalisme sastrawi juga tidak berada di ranah sastra, apalagi fiksi. Ia hanya boleh berada di ranah fakta. Wartawan tidak boleh menggunakan imajinasinya untuk mengarang cerita dalam tulisan jurnalisme sastrawi. Yang harus digunakan ialah kreativitas dalam menyusun kisah yang enak dibaca. Kisah, yang semua berdasarkan fakta.
Ada yang menyandingkan jurnalisme sastrawi dengan novel sejarah. Novel dianggap mewakili sastra, dan sejarah dianggap mewakili jurnalisme. Sebetulnya ini adalah dua hal yang amat berbeda. Sejarah, sejauh ia terbukti benar, tak ditambah dan tak dikurang, maka ia adalah fakta. Namun ketika ia ditambah atau dikurangi, memakai nama samaran dan karakter fiktif, ia tak lagi menjadi fakta.
Karya-karya fiksi Mochtar Lubis atau Pramoedya Ananta Toer yang berlatar sejarah misalnya, tidak bisa dijadikan sumber primer. Meskipun memang menggambarkan situasi sosial di masa lalu, nama karakter, kejadian, dan sebagainya harus diverifikasi. “Tak boleh ada khayalan atau fiksi satu titik pun.” Kata Andreas.
Chik Rini, ketika diwawancarai perihal narasinya yang mengagumkan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” juga memastikan, setiap detail dalam tulisannya adalah fakta. Mulai dari suasana terminal Lhokseumawe, sampai percakapan antara dua orang, semua bisa ia pastikan kebenarannya. Chik Rini berpendapat sama dengan Andreas, bahwa jurnalisme sastrawi tetaplah sebuah karya jurnalistik yang harus berdasarkan fakta, hingga ke tiap detail deskripsinya.
Jurnalisme Sastrawi di Era Internet
Di era teknologi komunikasi dan informasi sekarang ini, terdapat peluang besar untuk memperluas dan meningkatkan konsumsi online nonfiksi di internet. Terutama dengan fenomena majalah dan surat kabar utama yang berlomba menyediakan konten di Web yang bersifat menarik dalam batas-batas dunia maya. Fitur-fitur dari Web tersebutlah yang menerapkan karakteristik jurnalisme sastra.
Karakteristik yang dimaksud dalam hal ini adalah karakteristik yang diungkapkan oleh James E. Murphy, yakni menggunakan teknik sastra dramatis, subjektivitas, dan perendaman.
Salah satu contoh web yang mengaplikasikan jurnalisme sastrawi adalah situs Blackhawk Down. Sebuah novel karya Mark Bowden tentang peran serta Amerika dalam perang di Somalia. Situs ini berisi 29 bagian dengan detail latar belakang dan analisisnya masing-masing. Setiap bagian dilengkapi dengan link yang akan mempermudah pembaca memahami arti-arti istilah yang dimuatnya.
Jurnalisme sastrawi memiliki prospek tersendiri dalam dunia internet. Keuntungan utama dari internet adalah kita dapat mempublikasikan karya kita dengan sangat cepat. Secara umum, masa depan jurnalisme sastra di media internet cukup menjanjikan. Hanya saja, ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan.
Pertama, perihal penempatan karya kita di situs-situs yang memiliki banyak pembaca. Tentu kita harus menempatkan tulisan di media yang paling banyak diakses. Kedua, bagaimana caranya membuat tulisan panjang kita tetap menarik dan mudah dibaca tanpa harus menyusahkan si pembaca karena harus terus menerus melakukan scrolling pada mouse-nya.
Masa Depan Jurnalisme Sastrawi di Indonesia
Atmakusumah Astraatmaadja, dalam sebuah diskusinya dengan Andreas Harsono, mengaku pesimis genre ini bisa berkembang di Indonesia. Pasalnya, kebanyakan media di sini bermodal kecil, dengan pengasuh dan wartawan yang sangat sedikit jumlahnya. Harian di Papua, Palu, Kendari, ada yang diasuh oleh 3-5 wartawan saja. Jumlah wartawan Indonesia pada masa Soeharto hanya sekitar 7.000, mengasuh hampir 300 media cetak. Sekarang, paling-paling wartawan bertambah jadi 10.000 orang. Bandingkan dengan di Jerman, misalnya, yang memiliki 90.000 wartawan, termasuk 40.000 wartawan freelance.
Astraatmadja mengatakan, media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas –yang memerlukan lebih banyak waktu untuk membuatnya. Tenaga wartawan sangat kurang, padahal media seharusnya mampu menyisihkan sebagian wartawannya untuk mengerjakan investigative reporting, in-depth reporting, dan jurnalisme baru.
Pendapat senada juga datang dari Andreas Harsono. Menurutnya, jurnalisme sastrawi sulit berkembang di Indonesia karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Memang ada media yang memberi kesempatan menulis panjang, macam majalah Sastra, Horizon, Kalam, Basis, atau Intisari. Itupun kebanyakan berupa esai, dan media-media tersebut pun bukanlah media mainstream. Padahal genre ini membutuhkan ruang yang banyak pada sebuah media.
****
tugas kelompok jurnalisme kontemporer Ken, Ami, Hani, dan Agnes. Bersumber dari berbagai bahan bacaan dan wawancara langsung dengan Andreas Harsono dan Chik Rini.
Komentar
Posting Komentar