Membuat Feature News
Fakta dalam jurnalisme adalah sesuatu yang suci. Ungkapan itu sudah seringkali kita dengar dalam dunia jurnalisme. Fakta yang disucikan dalam artian, fakta tidak boleh dicampurkan dengan opini wartawan. Earl English dan Clarence dalam buku Scholastic Journalism menegaskan, fakta merupakan persyaratan mutlak bagi berita. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan fakta?
Earl English dan Clarence sendiri membagi fakta dalam dua pengertian. Pertama, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh telah terjadi. Kedua, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh benar, kebenaran. Hal-hal yang disiarkan wartawan tidak mesti berupa peristiwa, tapi dapat juga berupa suatu kecenderungan, situasi, atau interpretasi yang benar-benar dinyatakan oleh sumber berita.
Mengenai sikap wartawan dan objektivitas, dalam penulisan laporan berita, baik primer maupun sekunder, wartawan harus menjaga jarak dengan objek laporan. Demi objektivitas berita pula, wartawan tidak boleh melibatkan diri secara emosional dalam penulisan berita. Dinyatakan dalam Pasal 1 KEJ 2006, wartawan Indonesia harus bersikap independen. Independen dalam artian mem-beritakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pihak pemilik perusahaan pers.
Seringkali kita mendengar ungkapan, wartawan bekerja bukan atas nama pribadi, sehingga ia tidak boleh menulis berita yang sengaja menggiring khalayak ke suatu arah tertentu, ke arah yang dikehendaki wartawan atau redaksinya sendiri. Namun apakah betul pers harus dan bisa sedemikian lempang dan objektif?
Menurut saya, sangat sulit untuk bisa membuat berita yang betul-betul objektif, bahkan berita lempang (straight news) sekalipun. Bisa dibilang objektivitas adalah utopia belaka. Ketika seorang wartawan surat kabar A melihat sebuah peristiwa, kemudian membuat laporannya, menurut saya hasil laporannya itu adalah hasil subjektivitas dia juga. Belum lagi jika harus disesuaikan dengan ideologi perusahaan media massa tempatnya bekerja.
Karena pada kenyataannya, di Indonesia setiap media massa pasti memiliki ideologinya masing-masing, yang sudah pasti turut mewarnai porsi pemberitaannya. Setiap calon wartawan yang akan masuk ke sebuah perusahaan media massa, selain dibekali dengan kemampuan jurnalistik, ia juga akan dibekali dengan ideologi media. Ada rambu-rambu tertentu terkait dengan ideologi media ini, yang harus dipahami oleh si calon wartawan. Alhasil ketika menjadi wartawan dan berburu fakta, akan sulit baginya untuk menulis laporan berita yang seratus persen objektif.
Beberapa kali saya sempat melakukan wawancara ke perusahaan media massa, dan begitulah kenyataannya. Wartawan manapun, selama ia masih terikat dengan satu lembaga, tidak akan bisa objektif. Meskipun tidak ada fakta yang diselewengkan, setidaknya antara media satu dengan yang lain pasti ada perbedaan diksi. Contoh kecil, tabligh akbar di Masjid Istiqlal mungkin saja menjadi laporan utama (headline) di harian Republika, namun apakah harian Kompas juga akan melakukan hal yang sama?
Adanya ideologi media ini selama tidak digunakan untuk saling menyerang satu sama lain, merupakan hal yang wajar. Namun tak dapat dipungkiri, hal ini bisa sangat memengaruhi subjektivitas wartawan. Ashadi Siregar dalam buku Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa juga mengungkapkan bahwa pada saat mengumpulkan fakta, wartawan pada dasarnya mengandalkan subjektivitas berbagai pihak, termasuk subjektivitas dirinya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana subjektivitas itu berpengaruh terhadap kebenaran, kompetensi, serta konsistensi dari setiap fakta yang diperoleh. Jika subjektivitas itu dipengaruhi oleh adanya kepentingan atau keberpihakan, atau oleh ukuran yang tidak berlaku umum, maka fakta tersebut mungkin mengalami bias. Fakta demikian akan gagal menggambarkan realitas sesungguhnya. Dalam hal ini saya setuju dengan Ashadi Siregar, bahwa yang diperlukan bukanlah objektivitas, melainkan sikap kritis terhadap suatu fakta.
Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini membuat arus informasi juga turut mengalir deras di tengah-tengah masyarakat. Media informasi dan komunikasi berkembang, dari yang awalnya hanya berupa media cetak, berkembang menjadi media elektronik, dan yang kini sedang menjamur, media online atau media dalam jaringan (daring). Media massa berkembang, produk atau karya-karya jurnalistik juga semakin lama semakin beragam. Karya jurnalistik yang awalnya hanya dikenal dua jenis: straight news dan artikel (views), kini dikenal istilah dan gaya baru: feature news.
Sebuah feature news –penulis menyebutnya berita khas- bisa dibilang merupakan bentuk baru dari karya jurnalistik yang menggabungkan antara faktualitas sebuah peristiwa dengan subjektivitas serta kreativitas wartawan dalam mengemas kisahnya dengan gaya penulisan karya sastra.
Mengapa feature disebut sebagai bentuk baru dari karya jurnalistik? Dalam diktat penulis mengulas sedikit mengenai pemikiran Tom Wolfe, seorang wartawan dan novelis AS. Pada tahun 1960-an, Wolfe memperkenalkan istilah New Journalism, yang ia maksudkan sebagai laporan berita mendalam yang penyajiannya dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga enak dibaca.
Kemudian pada 1973 Wolfe bersama EW Johnson menyusun buku The New Journalism. Ia mengungkapkan, jurnalisme baru ini berbeda dengan laporan berita harian yang dibuat wartawan. Dalam genre ini, wartawan bertutur menggunakan adegan demi adegan, laporannya menyeluruh, menggunakan sudut pandang orang ketiga, serta penuh dengan detail.
Di Indonesia sendiri, jurnalisme baru ala Tom Wolfe tampaknya masih menjadi barang langka. Sedikit sekali wartawan yang bisa menerapkannya, selain mungkin majalah Pantau dan Tempo. Goenawan Mohamad, mantan pemimpin redaksi majalah Tempo, menulis demikian dalam pengantar buku Seandainya Saya Wartawan Tempo: “Sebelum ada Tempo, hanya ada dua jenis penulisan dalam koran dan majalah di Indonesia: berita lempang (straight news) seperti di koran, atau artikel, seperti “kolom”. Tempo lahir dengan menyajikan cara penulisan yang berbeda sama sekali – yang sekarang jadi pola di penulisan jurnalistik Indonesia (dan sering tidak pada tempatnya dipakai): bagaimana menyusun sebuah berita tentang sebuah kejadian sebagai sebuah cerita pendek.”
Meskipun disusun dengan gaya penulisan sastra, feature news seperti juga karya jurnalistik lainnya tetap harus berdasarkan fakta (faktual). Karena karya jurnalistik bukanlah reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Sebuah karya jurnalistik, baik dalam bentuk berita langsung, berita khas, maupun berita mendalam haruslah faktual. Sudah tegas dipaparkan dalam Bab II Pasal 5 KEWI (Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia): “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutama-kan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.”
Saya setuju dengan pendapat yang menyebut genre jurnalistik satu ini sebagai berita khas, bukan karangan khas seperti yang disebutkan oleh Pratikto (1984:6) dan Mappatoto (2004:1). Saya tertarik untuk mengutip definisi feature yang diuraikan oleh Andi Baso Mappatoto dalam bukunya Teknik Penulisan Feature. Ia mendefinisikan feature sebagai berikut: “Karangan lengkap nonfiksi bukan berita-lempang dalam media massa yang tak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas kadang-kadang dengan sentuhan subyektivitas pengarang terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat manusiawi untuk mencapai tujuan memberitahu, menghibur, mendidik, dan meyakinkan pembaca.”
Di sini saya bingung dengan kalimat “karangan lengkap nonfiksi”. Feature yang notabene adalah sebuah karya jurnalistik, tentu saja nonfiksi. Tapi menurut saya feature pun bukanlah sebuah karangan, ia adalah laporan berita yang dibuat wartawan, dan disusun berlandaskan fakta. Penulis sendiri beranggapan bahwa istilah karangan lazim digunakan dalam konteks cerita fiksi atau sastra, sedangkan feature news tidak termasuk keduanya, meskipun ditulis dengan gaya demikian.
Menurut saya, di sinilah letak kekhasan sebuah feature news. Di satu sisi, ia harus disusun berlandaskan fakta, namun di sisi lain penulis atau wartawan bisa juga “membumbui” fakta-fakta yang ada dengan subjektivitasnya, dan kemudian fakta-fakta tersebut dirangkai menjadi sebuah kisah menarik dengan kreativitasnya. Perlu keterampilan khusus dalam menulis feature yang baik, tak semua orang bisa melakukannya. Maka wajar saja apabila feature news berkualitas tinggi masih jarang ditemukan di Indonesia.
Kembali ke definisi yang diuraikan oleh Andi Baso Mappatoto tadi, ia mengung-kapkan bahwa sebuah feature dipaparkan dengan sentuhan subyektivitas pengarang terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat manusiawi (human interest). Dari sekian banyak feature news yang pernah saya baca, kebanyakan memang mengangkat tema human interest, seperti soal kemiskinan, anak jalanan, atau nilai-nilai luhur dalam diri seorang yang tidak terkenal. Misalnya, kerja keras seorang tukang bakso yang sukses menyekolahkan anak-anaknya hingga ke luar negeri, atau kisah para veteran perang kemerdekaan.
Tak dapat dipungkiri, tema-tema seputar human interest memang kerap ampuh me-narik, menghibur, bahkan menyentuh pembaca. Namun sepertinya masih banyak pula isu-isu lain yang bisa dijadikan berita khas oleh wartawan yang cerdas dan jeli melihatnya. Fakta dan peristiwa mengenai lingkungan, perjalanan, ekonomi, bahkan politik pun bisa dijadikan berita khas. Tinggal bagaimana pintar-pintar sang penulis untuk mengemasnya menjadi kisah yang menarik dan enak dibaca.
Earl English dan Clarence sendiri membagi fakta dalam dua pengertian. Pertama, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh telah terjadi. Kedua, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh benar, kebenaran. Hal-hal yang disiarkan wartawan tidak mesti berupa peristiwa, tapi dapat juga berupa suatu kecenderungan, situasi, atau interpretasi yang benar-benar dinyatakan oleh sumber berita.
Mengenai sikap wartawan dan objektivitas, dalam penulisan laporan berita, baik primer maupun sekunder, wartawan harus menjaga jarak dengan objek laporan. Demi objektivitas berita pula, wartawan tidak boleh melibatkan diri secara emosional dalam penulisan berita. Dinyatakan dalam Pasal 1 KEJ 2006, wartawan Indonesia harus bersikap independen. Independen dalam artian mem-beritakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pihak pemilik perusahaan pers.
Seringkali kita mendengar ungkapan, wartawan bekerja bukan atas nama pribadi, sehingga ia tidak boleh menulis berita yang sengaja menggiring khalayak ke suatu arah tertentu, ke arah yang dikehendaki wartawan atau redaksinya sendiri. Namun apakah betul pers harus dan bisa sedemikian lempang dan objektif?
Menurut saya, sangat sulit untuk bisa membuat berita yang betul-betul objektif, bahkan berita lempang (straight news) sekalipun. Bisa dibilang objektivitas adalah utopia belaka. Ketika seorang wartawan surat kabar A melihat sebuah peristiwa, kemudian membuat laporannya, menurut saya hasil laporannya itu adalah hasil subjektivitas dia juga. Belum lagi jika harus disesuaikan dengan ideologi perusahaan media massa tempatnya bekerja.
Karena pada kenyataannya, di Indonesia setiap media massa pasti memiliki ideologinya masing-masing, yang sudah pasti turut mewarnai porsi pemberitaannya. Setiap calon wartawan yang akan masuk ke sebuah perusahaan media massa, selain dibekali dengan kemampuan jurnalistik, ia juga akan dibekali dengan ideologi media. Ada rambu-rambu tertentu terkait dengan ideologi media ini, yang harus dipahami oleh si calon wartawan. Alhasil ketika menjadi wartawan dan berburu fakta, akan sulit baginya untuk menulis laporan berita yang seratus persen objektif.
Beberapa kali saya sempat melakukan wawancara ke perusahaan media massa, dan begitulah kenyataannya. Wartawan manapun, selama ia masih terikat dengan satu lembaga, tidak akan bisa objektif. Meskipun tidak ada fakta yang diselewengkan, setidaknya antara media satu dengan yang lain pasti ada perbedaan diksi. Contoh kecil, tabligh akbar di Masjid Istiqlal mungkin saja menjadi laporan utama (headline) di harian Republika, namun apakah harian Kompas juga akan melakukan hal yang sama?
Adanya ideologi media ini selama tidak digunakan untuk saling menyerang satu sama lain, merupakan hal yang wajar. Namun tak dapat dipungkiri, hal ini bisa sangat memengaruhi subjektivitas wartawan. Ashadi Siregar dalam buku Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa juga mengungkapkan bahwa pada saat mengumpulkan fakta, wartawan pada dasarnya mengandalkan subjektivitas berbagai pihak, termasuk subjektivitas dirinya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana subjektivitas itu berpengaruh terhadap kebenaran, kompetensi, serta konsistensi dari setiap fakta yang diperoleh. Jika subjektivitas itu dipengaruhi oleh adanya kepentingan atau keberpihakan, atau oleh ukuran yang tidak berlaku umum, maka fakta tersebut mungkin mengalami bias. Fakta demikian akan gagal menggambarkan realitas sesungguhnya. Dalam hal ini saya setuju dengan Ashadi Siregar, bahwa yang diperlukan bukanlah objektivitas, melainkan sikap kritis terhadap suatu fakta.
Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini membuat arus informasi juga turut mengalir deras di tengah-tengah masyarakat. Media informasi dan komunikasi berkembang, dari yang awalnya hanya berupa media cetak, berkembang menjadi media elektronik, dan yang kini sedang menjamur, media online atau media dalam jaringan (daring). Media massa berkembang, produk atau karya-karya jurnalistik juga semakin lama semakin beragam. Karya jurnalistik yang awalnya hanya dikenal dua jenis: straight news dan artikel (views), kini dikenal istilah dan gaya baru: feature news.
Sebuah feature news –penulis menyebutnya berita khas- bisa dibilang merupakan bentuk baru dari karya jurnalistik yang menggabungkan antara faktualitas sebuah peristiwa dengan subjektivitas serta kreativitas wartawan dalam mengemas kisahnya dengan gaya penulisan karya sastra.
Mengapa feature disebut sebagai bentuk baru dari karya jurnalistik? Dalam diktat penulis mengulas sedikit mengenai pemikiran Tom Wolfe, seorang wartawan dan novelis AS. Pada tahun 1960-an, Wolfe memperkenalkan istilah New Journalism, yang ia maksudkan sebagai laporan berita mendalam yang penyajiannya dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga enak dibaca.
Kemudian pada 1973 Wolfe bersama EW Johnson menyusun buku The New Journalism. Ia mengungkapkan, jurnalisme baru ini berbeda dengan laporan berita harian yang dibuat wartawan. Dalam genre ini, wartawan bertutur menggunakan adegan demi adegan, laporannya menyeluruh, menggunakan sudut pandang orang ketiga, serta penuh dengan detail.
Di Indonesia sendiri, jurnalisme baru ala Tom Wolfe tampaknya masih menjadi barang langka. Sedikit sekali wartawan yang bisa menerapkannya, selain mungkin majalah Pantau dan Tempo. Goenawan Mohamad, mantan pemimpin redaksi majalah Tempo, menulis demikian dalam pengantar buku Seandainya Saya Wartawan Tempo: “Sebelum ada Tempo, hanya ada dua jenis penulisan dalam koran dan majalah di Indonesia: berita lempang (straight news) seperti di koran, atau artikel, seperti “kolom”. Tempo lahir dengan menyajikan cara penulisan yang berbeda sama sekali – yang sekarang jadi pola di penulisan jurnalistik Indonesia (dan sering tidak pada tempatnya dipakai): bagaimana menyusun sebuah berita tentang sebuah kejadian sebagai sebuah cerita pendek.”
Meskipun disusun dengan gaya penulisan sastra, feature news seperti juga karya jurnalistik lainnya tetap harus berdasarkan fakta (faktual). Karena karya jurnalistik bukanlah reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Sebuah karya jurnalistik, baik dalam bentuk berita langsung, berita khas, maupun berita mendalam haruslah faktual. Sudah tegas dipaparkan dalam Bab II Pasal 5 KEWI (Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia): “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutama-kan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.”
Saya setuju dengan pendapat yang menyebut genre jurnalistik satu ini sebagai berita khas, bukan karangan khas seperti yang disebutkan oleh Pratikto (1984:6) dan Mappatoto (2004:1). Saya tertarik untuk mengutip definisi feature yang diuraikan oleh Andi Baso Mappatoto dalam bukunya Teknik Penulisan Feature. Ia mendefinisikan feature sebagai berikut: “Karangan lengkap nonfiksi bukan berita-lempang dalam media massa yang tak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas kadang-kadang dengan sentuhan subyektivitas pengarang terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat manusiawi untuk mencapai tujuan memberitahu, menghibur, mendidik, dan meyakinkan pembaca.”
Di sini saya bingung dengan kalimat “karangan lengkap nonfiksi”. Feature yang notabene adalah sebuah karya jurnalistik, tentu saja nonfiksi. Tapi menurut saya feature pun bukanlah sebuah karangan, ia adalah laporan berita yang dibuat wartawan, dan disusun berlandaskan fakta. Penulis sendiri beranggapan bahwa istilah karangan lazim digunakan dalam konteks cerita fiksi atau sastra, sedangkan feature news tidak termasuk keduanya, meskipun ditulis dengan gaya demikian.
Menurut saya, di sinilah letak kekhasan sebuah feature news. Di satu sisi, ia harus disusun berlandaskan fakta, namun di sisi lain penulis atau wartawan bisa juga “membumbui” fakta-fakta yang ada dengan subjektivitasnya, dan kemudian fakta-fakta tersebut dirangkai menjadi sebuah kisah menarik dengan kreativitasnya. Perlu keterampilan khusus dalam menulis feature yang baik, tak semua orang bisa melakukannya. Maka wajar saja apabila feature news berkualitas tinggi masih jarang ditemukan di Indonesia.
Kembali ke definisi yang diuraikan oleh Andi Baso Mappatoto tadi, ia mengung-kapkan bahwa sebuah feature dipaparkan dengan sentuhan subyektivitas pengarang terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat manusiawi (human interest). Dari sekian banyak feature news yang pernah saya baca, kebanyakan memang mengangkat tema human interest, seperti soal kemiskinan, anak jalanan, atau nilai-nilai luhur dalam diri seorang yang tidak terkenal. Misalnya, kerja keras seorang tukang bakso yang sukses menyekolahkan anak-anaknya hingga ke luar negeri, atau kisah para veteran perang kemerdekaan.
Tak dapat dipungkiri, tema-tema seputar human interest memang kerap ampuh me-narik, menghibur, bahkan menyentuh pembaca. Namun sepertinya masih banyak pula isu-isu lain yang bisa dijadikan berita khas oleh wartawan yang cerdas dan jeli melihatnya. Fakta dan peristiwa mengenai lingkungan, perjalanan, ekonomi, bahkan politik pun bisa dijadikan berita khas. Tinggal bagaimana pintar-pintar sang penulis untuk mengemasnya menjadi kisah yang menarik dan enak dibaca.
Komentar
Posting Komentar