Over Kapasitas di Lapas, Napi Alami Dehumanisasi

Pernahkah Anda membayangkan rasanya tinggal di dalam penjara yang over kapasitas hingga 200 persen? Sudah sial masuk penjara, penuh sesak pula. Sudah hilang kebebasan, hilang pula hak-haknya sebagai manusia untuk mendapatkan makanan, pakaian, tempat tinggal, apalagi pendidikan yang layak. Narapidana memang pelanggar hukum, tapi seringkali kita lupa, bahwa mereka juga manusia.

Hal inilah yang dibahas oleh Hasanuddin Massaile, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM dalam disertasinya yang berjudul “Pelayanan Kepada Narapidana Narkoba Dalam Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan, Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta”. Dalam karyanya ini Hasanuddin memusatkan penelitiannya terhadap permasalahan narapidana kasus penyalahgunaan narkoba, dengan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta. Lembaga ini dipilih karena dapat merepresentasikan kebijakan pemasyarakatan khusus narapidana narkoba.

Kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang semakin banyak dari hari ke hari menimbulkan berbagai permasalahan pelik. Tidak hanya meresahkan masyarakat, maraknya kasus narkoba juga membuat lembaga pemasyarakatan (LP) atau penjara jadi penuh sesak, karena hampir 40 persen dari seluruh isi penjara adalah para narapidana kasus narkoba. Ada empat macam kasus penyalahgunaan narkoba: produsen (bandar), agen (pengedar), pemakai dan pengedar, serta pemakai murni.

“Bandar itu penjahat. Ia pantas dipidanakan, bahkan harus dihukum mati menurut saya. Pengedar juga. Yang saya persoalkan adalah, kenapa pemakai murni dipidanakan. Dia ‘kan korban dari bandar dan pengedar. Ia tidak mengganggu rasa keadilan dan keamanan masyarakat, ia merusak diri sendiri. Karena pemakai murni ini dipidana, kasusnya banyak, penjara penuh. Dari seluruh narapidana kasus narkoba, kebanyakan ‘kan pemakai murni. Bandar dan pengedar pasti lebih sedikit,” jelas Hasanuddin yang ditemui di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta, Kamis (17/12) lalu.

Kriminalisasi terhadap pemakai murni narkoba ini menyebabkan peningkatan jumlah narapidana narkoba, yang lebih lanjut menimbulkan permasalahan over kapasitas di Lapas Narkotika. Data yang diperoleh dari Lapas Narkoba DKI Jakarta, Juli 2008 mengungkap, Lapas Narkoba DKI Jakarta dengan kapasitas hanya 1.084 orang, pada akhir 2007 dihuni 2.905 orang, berarti over kapasitas sebanyak 1.821 orang atau 267,99 persen.

Bandar dan pengedar ditempatkan bersama pemakai murni narkoba, narapidana yang sehat ditempatkan bersama narapidana berpenyakit menular, seperti HIV/AIDS. Lapas yang seharusnya bertujuan mengobati dan merehabilitasi secara paksa agar dapat sembuh dari ketergantungan narkoba, secara ekstrim malah menjadi tempat pelatihan pengedar narkoba serta tempat persemaian HIV/AIDS. Perlu diketahui, sebanyak 61 persen penghuni lapas narkoba terinfeksi virus HIV/AIDS.

Over kapasitas ini menyebabkan dehumanisasi, karena lingkungan dalam lapas yang kumuh, gangguan keamanan, terbatasnya jumlah petugas, terbatasnya sarana dan prasarana, dan padatnya kamar hunian. Ruang gerak setiap orang dalam kamar hanya 1,97 meter persegi, dari yang seharusnya 5,4 meter persegi. Ruang gerak tiap narapidana dalam blok hunian hanya 4,85 meter persegi, dari yang seharusnya 22 meter persegi (standar hasil penelitian Puslitbang Depkumham, 1994). Belum lagi biaya untuk tiga kali makan yang hanya Rp. 5500 per orang per hari, serta biaya pelayanan narapidana di luar biaya makan, yang hanya Rp 816 per orang per hari, untuk sekitar 30 mata pengeluaran.

Dalam disertasinya, Hasanuddin menulis, “Pada saat penerimaan narapidana, lebih menekankan kepada kewajiban-kewajiban dan kepatuhan narapidana. Kurang menjelaskan secara menyeluruh tentang hak-hak narapidana.:” Ia kembali menerangkan, “Hukuman orang dipenjara itu ‘kan hanya kehilangan kemerdekaan bergerak. Lainnya harus dipenuhi, seperti makan, pakaian, pendidikan, itu hak asasi manusia. Tidak ada ‘kan vonis kurungan penjara 2 tahun, ditambah dibikin menderita, ditambah tidak dikasih makan?”

“Kalau penuh sesak, sulit diatur ‘kan. Tapi kalau sesuai kapasitas tentu lebih mudah dikelompokkan berdasarkan latar belakang masing-masing narapidana. Sehingga kasus-kasus seperti penularan kejahatan, penularan penyakit, tindak kekerasan dan penyimpangan perilaku seksual dalam lapas bisa dihindari,” jelas doktor yang baru diwisuda 5 November 2009 lalu ini.

Dekriminalisasi Pemakai Murni sebagai Solusi
Atas berbagai permasalahan tadi, Hasanuddin dalam disertasinya mengajukan beberapa solusi. Pertama, memformulasikan dekriminalisasi terhadap narapidana narkoba yang termasuk pemakai murni. Artinya, pemakai murni tidak dipidanakan dan tidak masuk penjara, tapi harus dimasukkan ke dalam lembaga rehabilitasi paksa, dengan penetapan hakim.

Ia juga menyimpulkan, pelaksanaan model-model perlakuan terhadap narapidana belum efektif, yang meliputi pengekangan (restraint), pembentukan kembali (reform), rehabilitasi (rehabilitation) dan re-integrasi (reintegration). Untuk narapidana yang merupakan pemakai murni narkoba, model perlakuan yang digunakan harus berbeda, bukan restraint-reform-rehabilitation-reintegration, melainkan restraint- rehabilitation-reform-reintegration.

“Narapidana narkoba itu tidak bisa di-reform dulu baru direhabilitasi. Ia harus disembuhkan dulu dari penyakitnya atau direhabilitasi, baru dibekali keterampilan, untuk kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat. Di lembaga rehabilitasi paksa, bukan penjara, sehingga tidak ada stigmaisasi dari masyarakat bahwa pemakai murni adalah penjahat berbahaya,” jelasnya.

Hasanuddin juga memaparkan perlunya reorganisasi di Lapas Narkotika Jakarta yang dilakukan dengan pendekatan humanis agar sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan narapidana penyalahguna narkoba. Mereka juga perlu ditempatkan pada lapas yang bentuk dan tingkat pengamanannya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan mereka.

“Coba Anda bayangkan, penyalahguna narkoba ditempatkan di penjara dengan maximum security yang mahal sekali biayanya. Padahal tidak perlu. Mereka, para pemakai narkoba ini secara fisik lemah, tidak akan melawan, tidak akan lari. Mereka senangnya mengkhayal, loyo-loyo. Kecuali untuk produsen dan bandar narkoba, mereka sangat berbahaya bagi masyarakat, tepat jika ditempatkan di lapas super maksimum. Tapi pemakai murni narkoba, tidak perlu diperlakukan seperti itu,” ungkapnya panjang lebar.

Setelah menerima gelar akademik tertingginya November lalu, pria asal Sengkang, Sulawesi Selatan ini tidak berhenti berpuas diri dengan titelnya sekarang. Ia masih terus mengusahakan agar apa yang ia tulis dalam disertasinya bisa diaplikasikan dalam menyusun kembali konsep yang bisa meningkatkan efektivitas lembaga pemasyarakatan.

“Saya pernah menjabat sebagai Sekjen Depkumham dan Dirjen Pemasyarakatan, dan sekarang saya ini kan sudah tua, sudah 64 tahun. Saya masih ingin mengabdi pada lembaga ini, caranya dengan memberikan sumbangan pemikiran di bidang yang sudah saya geluti selama puluhan tahun,” tutur Hasanuddin sambil menunjukkan ringkasan disertasinya.

“Saya coba bicara kepada menteri, ia dorong gubernur supaya buat penjara-penjara baru. Saya kasihkan juga ini (mengacungkan ringkasannya) supaya dia baca. Dari 200 copy ringkasan yang saya buat, tinggal satu ini sisanya. Nah kalau benar-benar terwujud, luar biasa ‘kan? Saya punya idealisme dong. Sudah enam gubernur bersedia, itu hasil provokasi dari saya!” tukasnya sambil tertawa.

Biodata Narasumber
Nama : Hasanuddin Massaile
Tmp/Tgl Lahir : Sengkang, 8 November 1945
Agama : Islam
Alamat : Komplek Depkumham Kavling 3
Jalan Pertanian Raya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan

Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang