Taryana, Pengusaha Ubi Cilembu: Termotivasi Karena Ditertawakan Teman SMP
Sore itu, Sabtu 29 November 2008, saya, Ken Andari, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad berkesempatan untuk mewawancarai seorang pengusaha ubi Cilembu, Taryana (33). Pukul 16.30 WIB saya tiba di kediamannya di Desa Cilembu, 5 kilometer dari Jalan Raya Tanjungsari. Di tengah dinginnya udara Desa Cilembu karena hujan yang lebat sore itu, saya mendapat sambutan hangat dari ayah tiga anak ini. Setelah dipersilakan masuk, saya disuguhi segelas air minum dan sepiring ubi bakar. Ia menyiapkan dan mengantarnya sendiri, bukan oleh istri atau pembantunya.
Begitulah sosok Taryana dalam kesehariannya, hangat, periang, dan rendah hati. Meskipun sudah berhasil mengekspor ubi Cilembu sampai ke Jepang, lelaki yang merintis karirnya dari nol ini mengaku dirinya belum sukses dan masih perlu banyak belajar. Perjalanan karirnya penuh cerita pahit.
Pria yang mengaku termotivasi gara-gara ditertawakan teman-teman SMP ini mengungkapkan banyak hambatan yang dihadapinya sebagai seorang pengusaha kecil, yang pendidikannya tidak terlalu tinggi. Menurutnya, masalah utama adalah kurangnya SDM dan modal. Taryana sangat ingin masyarakat Indonesia bisa menghargai ubi Cilembu, sehingga ubinya tidak hanya laku untuk diekspor, tapi juga bisa diterima dan dihargai seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana mulanya Anda merintis usaha ini?
Saya lulusan sekolah pertanian SPP/SPMA di Sumedang. Karena basic saya di pertanian, orang tua juga petani, ya, saya teruskan pertanian. Saya mulai dari jadi petani ubi, kemudian bawa pikulan, saya jajakan door to door, setelah itu punya kios, kemudian bisa mengisi supplier, sampai sekarang menjadi eksportir. Kami merintis ekspor sendiri mulai tahun 2008. Banyak permintaan dari Malaysia, Singapura, dan Jepang. Permintaan dari sana besar sekali, dari perusahaan-perusahaan besar, bahkan ada yang minta 1000-5000 ton ubi matang setiap tahunnya. Sekarang saya baru sanggup mengirim 1-2 kontainer saja, itu pun sebulan sekali.
Jadi Anda selesai sekolah kemudian memutuskan untuk berwirausaha, begitu?
Ya, karena dulu orang tua saya berjualan ubi di SMP, saya ditertawakan oleh teman-teman. Saya jalan kaki setengah jam ke sekolah, sampai sepatu saya bolong, saya dibilang anak kampung! Saya pernah naksir cewek orang kaya, ditolak hanya karena saya seorang petani. Tapi itu cerita lama, yang bisa memotivasi saya sampai sekarang.
Saya sekarang membangun CV, supaya bisa diwariskan ke anak saya nanti. Kalau saya sekarang belum maju, nanti anak saya harus maju. Anak saya yang paling besar sekarang umurnya 10 tahun, jadi dia punya waktu 10 tahun lagi untuk belajar.
Apa sih kelebihan ubi Anda dibandingkan dengan petani-petani lain?
Justru itu, bagaimana ubi-ubi yang jelek ini bisa dijual? Sumber daya alam kita sebenarnya sudah bagus, tapi banyak kekurangan dari segi sumber daya manusia (SDM) dan sebagainya.
Apakah ubi ini organik juga?
Bisa dibilang ini hampir organik, ya. Disemprot (pestisida) juga hampir tidak. Pupuk MPK digunakan sebagai starter saja. Kita menggunakan pupuk kandang. Di Cilembu ini bahkan ada beberapa daerah yang tidak menggunakan pupuk sama sekali.
Mungkin juga karena didukung oleh faktor iklim di Cilembu ini, ya?
Betul. Iklim sangat membantu. Jadi ubi Cilembu bukan dari bibitnya saja, tetapi faktor tanah dan iklim juga sangat menentukan terhadap aroma dan rasa ubi. Ubi Cilembu sulit dibudidayakan di Jepang, jadi kita harus bisa mengisi salah satu supplier. Standar ekspor di Jepang cukup tinggi, sedangkan kita cuma begini. Apalagi pembelajaran di pertanian kita ’kan.... ya begitu!
Kalau sekadar membeli dari petani kemudian saya jual, yah begitu sih, gampang. Tapi saya punya keinginan, bagaimana ubi bisa menjadi sesuatu yang berarti. Saya masih belajar, sampai bagaimana membuat pizza, es krim, dodol dari ubi. Bagaimana ubi yang kelihatan jelek ini dikemas menjadi lebih menarik.
Seperti Bakpao Telo di Malang, ya?
Betul sekali! Anda juga tahu, ya.
Sebenarnya apa sih yang menjadi standar kesuksesan Anda?
Kebanyakan orang memandang dari segi materi. Mobil banyak, rumah besar dan sebagainya. Mobil’kan bisa dibeli, siapapun kalau punya uang 20 juta juga bisa dapat mobil. Tapi kalau menghabiskan uang untuk belajar, belum tentu orang lain punya ilmu seperti saya. Saya kemarin pameran 10 hari di Jepang itu saja menghabiskan dana lebih dari 100 juta rupiah! Memang pengeluaran saya banyak dihabiskan untuk dua hal: promosi dan penelitian.
Kalau dari pemerintah sendiri?
Pemerintah sangat banyak membantu. Pelatihan-pelatihan kita difasilitasi pemerintah, banyak informasi kita dapatkan dari pemerintah, sebagian peralatan kita peroleh dari pemerintah, terutama dari Dinas Indag-agro. Kemarin juga saya sempat berkonsultasi dengan kepala DPRD Provinsi Sumedang tentang masalah pergudangan.
Waktu di Jepang ada yang minta 5000 ton itu, saya sampai ditertawakan. Sakit! Dia butuh ubi 5000 ton, tidak percaya dia dengan perusahaan saya, memang saya seperti ini. Saya disejajarkan, harus seperti Indofood. Ya tidak mungkin, karyawan tetap saya hanya dua orang. Fasilitas komputer, internet, jaringan telepon pun belum masuk ke daerah ini (Cilembu). Saya masih setara dengan tukang gandong, tapi mereka meminta kuantitas ekspor segitu.
Adakah keinginan yang belum tercapai?
Saya ingin punya perusahaan yang bisa menjalankan, bukan hanya ekspor, tapi juga pasar lokal. Ubi saya di Jepang dihargai mahal sekali, sampai 2500 yen/kilo. Itu setara dengan Rp 25.000. Kalau di sini, ubi Cilembu bahkan ada yang dihargai Rp 2000/kilo. Pokoknya saya ingin pemasaran yang lancar dulu lah, dalam dan luar negeri. Thomas Alva Edison sebelum menemukan bola lampu, berapa ribu kali ia gagal? Dan setelah berhasil, apakah hanya ia yang menikmati? Tentu tidak! Semua bisa menikmati!
Saya punya keyakinan, saya punya cita-cita, dan saya sudah berusaha. Pasti Allah melihat. Itu saja. Saya akui, saya bukan pebisnis yang bagus. Kalau orang bisnis itu harus saklek! Pokoknya harus berhasil, nggak peduli dengan yang lain! Saya nggak bisa begitu.
Maksudnya bagaimana?
Misalnya ada petani bawa sekeranjang ubi yang kualitasnya tidak terlalu bagus, kalau orang bisnis mah bilangnya, ”Apaan ini ubi jelek begini? Udah aja Rp. 2000 sekilo, ya! Kalau nggak mau, ya sudah sana pulang!” Kalau saya nggak bisa begitu. Suka kasihan sama petani-petani itu. Nggak bisa menolak saya. Padahal rugi! Kalau di bisnis ’kan tidak bisa begitu. Tapi biar bagaimanapun sejak tahun 1993 saya hidup dari ubi, saya juga pernah menerima 50 penghargaan, itu semua gara-gara ubi! Orang tua saya juga...
Kalau dibandingkan dengan pengusaha lain, keuntungannya bisa bermilyar-milyar, karena modal awalnya saja sudah ratusan juta. Sedangkan saya? Saya mulai benar-benar dari tukang panggul, kemudian mengisi kios, terus bertahap seperti itu sampai sekarang baru mau mulai ekspor!
Tapi ya...kalau kita orang jujur berbisnis sama orang yang nggak jujur ’kan jadi dikerjain! Kemarin saya dicaci maki oleh orang Jepang itu. Katanya, ”Ngapain kamu ke Jepang? Kamu nggak pantas berbisinis dengan saya!” Kesal bukan main saya. Tapi ya, saya bilang saja, ”You OK, hayyuu...tapi kalau tidak mau pun saya tidak rugi, ’kan?” Saya sering dikerjain, ditertawain. Begitu jadinya kalau orang seperti saya berbisnis dengan orang-orang pintar dan berduit.
Ken Andari
30 November 2008
Begitulah sosok Taryana dalam kesehariannya, hangat, periang, dan rendah hati. Meskipun sudah berhasil mengekspor ubi Cilembu sampai ke Jepang, lelaki yang merintis karirnya dari nol ini mengaku dirinya belum sukses dan masih perlu banyak belajar. Perjalanan karirnya penuh cerita pahit.
Pria yang mengaku termotivasi gara-gara ditertawakan teman-teman SMP ini mengungkapkan banyak hambatan yang dihadapinya sebagai seorang pengusaha kecil, yang pendidikannya tidak terlalu tinggi. Menurutnya, masalah utama adalah kurangnya SDM dan modal. Taryana sangat ingin masyarakat Indonesia bisa menghargai ubi Cilembu, sehingga ubinya tidak hanya laku untuk diekspor, tapi juga bisa diterima dan dihargai seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana mulanya Anda merintis usaha ini?
Saya lulusan sekolah pertanian SPP/SPMA di Sumedang. Karena basic saya di pertanian, orang tua juga petani, ya, saya teruskan pertanian. Saya mulai dari jadi petani ubi, kemudian bawa pikulan, saya jajakan door to door, setelah itu punya kios, kemudian bisa mengisi supplier, sampai sekarang menjadi eksportir. Kami merintis ekspor sendiri mulai tahun 2008. Banyak permintaan dari Malaysia, Singapura, dan Jepang. Permintaan dari sana besar sekali, dari perusahaan-perusahaan besar, bahkan ada yang minta 1000-5000 ton ubi matang setiap tahunnya. Sekarang saya baru sanggup mengirim 1-2 kontainer saja, itu pun sebulan sekali.
Jadi Anda selesai sekolah kemudian memutuskan untuk berwirausaha, begitu?
Ya, karena dulu orang tua saya berjualan ubi di SMP, saya ditertawakan oleh teman-teman. Saya jalan kaki setengah jam ke sekolah, sampai sepatu saya bolong, saya dibilang anak kampung! Saya pernah naksir cewek orang kaya, ditolak hanya karena saya seorang petani. Tapi itu cerita lama, yang bisa memotivasi saya sampai sekarang.
Saya sekarang membangun CV, supaya bisa diwariskan ke anak saya nanti. Kalau saya sekarang belum maju, nanti anak saya harus maju. Anak saya yang paling besar sekarang umurnya 10 tahun, jadi dia punya waktu 10 tahun lagi untuk belajar.
Apa sih kelebihan ubi Anda dibandingkan dengan petani-petani lain?
Justru itu, bagaimana ubi-ubi yang jelek ini bisa dijual? Sumber daya alam kita sebenarnya sudah bagus, tapi banyak kekurangan dari segi sumber daya manusia (SDM) dan sebagainya.
Apakah ubi ini organik juga?
Bisa dibilang ini hampir organik, ya. Disemprot (pestisida) juga hampir tidak. Pupuk MPK digunakan sebagai starter saja. Kita menggunakan pupuk kandang. Di Cilembu ini bahkan ada beberapa daerah yang tidak menggunakan pupuk sama sekali.
Mungkin juga karena didukung oleh faktor iklim di Cilembu ini, ya?
Betul. Iklim sangat membantu. Jadi ubi Cilembu bukan dari bibitnya saja, tetapi faktor tanah dan iklim juga sangat menentukan terhadap aroma dan rasa ubi. Ubi Cilembu sulit dibudidayakan di Jepang, jadi kita harus bisa mengisi salah satu supplier. Standar ekspor di Jepang cukup tinggi, sedangkan kita cuma begini. Apalagi pembelajaran di pertanian kita ’kan.... ya begitu!
Kalau sekadar membeli dari petani kemudian saya jual, yah begitu sih, gampang. Tapi saya punya keinginan, bagaimana ubi bisa menjadi sesuatu yang berarti. Saya masih belajar, sampai bagaimana membuat pizza, es krim, dodol dari ubi. Bagaimana ubi yang kelihatan jelek ini dikemas menjadi lebih menarik.
Seperti Bakpao Telo di Malang, ya?
Betul sekali! Anda juga tahu, ya.
Sebenarnya apa sih yang menjadi standar kesuksesan Anda?
Kebanyakan orang memandang dari segi materi. Mobil banyak, rumah besar dan sebagainya. Mobil’kan bisa dibeli, siapapun kalau punya uang 20 juta juga bisa dapat mobil. Tapi kalau menghabiskan uang untuk belajar, belum tentu orang lain punya ilmu seperti saya. Saya kemarin pameran 10 hari di Jepang itu saja menghabiskan dana lebih dari 100 juta rupiah! Memang pengeluaran saya banyak dihabiskan untuk dua hal: promosi dan penelitian.
Kalau dari pemerintah sendiri?
Pemerintah sangat banyak membantu. Pelatihan-pelatihan kita difasilitasi pemerintah, banyak informasi kita dapatkan dari pemerintah, sebagian peralatan kita peroleh dari pemerintah, terutama dari Dinas Indag-agro. Kemarin juga saya sempat berkonsultasi dengan kepala DPRD Provinsi Sumedang tentang masalah pergudangan.
Waktu di Jepang ada yang minta 5000 ton itu, saya sampai ditertawakan. Sakit! Dia butuh ubi 5000 ton, tidak percaya dia dengan perusahaan saya, memang saya seperti ini. Saya disejajarkan, harus seperti Indofood. Ya tidak mungkin, karyawan tetap saya hanya dua orang. Fasilitas komputer, internet, jaringan telepon pun belum masuk ke daerah ini (Cilembu). Saya masih setara dengan tukang gandong, tapi mereka meminta kuantitas ekspor segitu.
Adakah keinginan yang belum tercapai?
Saya ingin punya perusahaan yang bisa menjalankan, bukan hanya ekspor, tapi juga pasar lokal. Ubi saya di Jepang dihargai mahal sekali, sampai 2500 yen/kilo. Itu setara dengan Rp 25.000. Kalau di sini, ubi Cilembu bahkan ada yang dihargai Rp 2000/kilo. Pokoknya saya ingin pemasaran yang lancar dulu lah, dalam dan luar negeri. Thomas Alva Edison sebelum menemukan bola lampu, berapa ribu kali ia gagal? Dan setelah berhasil, apakah hanya ia yang menikmati? Tentu tidak! Semua bisa menikmati!
Saya punya keyakinan, saya punya cita-cita, dan saya sudah berusaha. Pasti Allah melihat. Itu saja. Saya akui, saya bukan pebisnis yang bagus. Kalau orang bisnis itu harus saklek! Pokoknya harus berhasil, nggak peduli dengan yang lain! Saya nggak bisa begitu.
Maksudnya bagaimana?
Misalnya ada petani bawa sekeranjang ubi yang kualitasnya tidak terlalu bagus, kalau orang bisnis mah bilangnya, ”Apaan ini ubi jelek begini? Udah aja Rp. 2000 sekilo, ya! Kalau nggak mau, ya sudah sana pulang!” Kalau saya nggak bisa begitu. Suka kasihan sama petani-petani itu. Nggak bisa menolak saya. Padahal rugi! Kalau di bisnis ’kan tidak bisa begitu. Tapi biar bagaimanapun sejak tahun 1993 saya hidup dari ubi, saya juga pernah menerima 50 penghargaan, itu semua gara-gara ubi! Orang tua saya juga...
Kalau dibandingkan dengan pengusaha lain, keuntungannya bisa bermilyar-milyar, karena modal awalnya saja sudah ratusan juta. Sedangkan saya? Saya mulai benar-benar dari tukang panggul, kemudian mengisi kios, terus bertahap seperti itu sampai sekarang baru mau mulai ekspor!
Tapi ya...kalau kita orang jujur berbisnis sama orang yang nggak jujur ’kan jadi dikerjain! Kemarin saya dicaci maki oleh orang Jepang itu. Katanya, ”Ngapain kamu ke Jepang? Kamu nggak pantas berbisinis dengan saya!” Kesal bukan main saya. Tapi ya, saya bilang saja, ”You OK, hayyuu...tapi kalau tidak mau pun saya tidak rugi, ’kan?” Saya sering dikerjain, ditertawain. Begitu jadinya kalau orang seperti saya berbisnis dengan orang-orang pintar dan berduit.
Ken Andari
30 November 2008
http://smpn3pamulihan-cilembu.blogspot.com/
BalasHapusUbi cilembu harus terus dilestarikan dan kita dukung perkembangannya..
BalasHapusalhamdulillah.... saya orang Cilembu merasa senang dengan begitu termnahsyurnya Ubi Cilembu ke mnacanegara. http://firmanzurig.blogspot.com/
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusassalamualaikum, saya pengen magang di cv nya pak taryana dong, gimna menghubungi beliau. mhon di balas ya. trims
BalasHapus