Aku, Kuburan, dan Kematian

Agustus lalu, waktu liburan semester yang panjang, saya dikasih kesempatan sama Allah untuk menghabiskan sisa liburan di Jawa Timur. Saya punya banyak saudara di sana. Ada yang di Surabaya, Sidoarjo, Malang, dan Lawang. Saya juga menyempetkan ziarah ke makam Mbahkung, ayah bapak saya. Makamnya di Bangil.

Duh, sudah lama sekali saya nggak datang ke sana. Kalau tidak salah sudah 6 tahun lamanya saya nggak ziarah ke makam Mbahkung ini. Lewat cerita-cerita Bapak dan Mbah, saya ngerasa udah kenal beliau. Pasti beliau orang hebat, karena beliaulah yang mendidik Bapak saya yang sekarang saya tahu, he has a great personality.

Begitu sampai di makam, saya sedih menyaksikan makam Mbahkung dipenuhi sampah dan rumput-rumput liar, hampir menutupi nisannya. Kotor sekali. Berarti memang sudah lama tak ada yang ziarah ke sini. Setelah selesai dibersihkan, kami bersimpuh dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sembari berdoa, semoga Allah meringankan siksa kuburnya. Dalam hati, saya mengucap salam untuknya, “Assalamualaykum Mbahkung, ini Ken udah gede. Maaf sudah lama tidak datang.”

Diam-diam, mata saya berkaca-kaca. Saya sedih, melihat kondisi makam Mbahkung yang seperti tak terawat. Saya marah, mengapa sanak saudara yang tinggal lebih dekat seperti sudah lama sekali tak berziarah. Saya terharu, melihat kerinduan yang begitu mendalam di mata Bapak saat menatap nisan Mbahkung. Saya gemetar, mengingat suatu saat nanti kedua orang tua saya pun akan meninggalkan saya. Dan... saya takut mati.

Benar kata Rasulullah SAW, berziarah ke makam bisa mengingatkan kita akan kematian. Ya Allah, saya belum siap mati. Bagaimana jika saya tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Munkar dan Nakir? Akankah saya disiksa hingga Hari Kiamat? Bagaimana jika amal saya tak cukup untuk masuk surga? Bagaimana jika... suatu saat orang-orang melupakan saya? Apakah keluarga, anak saya pun, akan ingat mendoakan saya?

Di tengah lamunan, tiba-tiba Bapak berkata, “Jangan pernah lupakan... walau tinggal sebongkah tanah,” Itu saja. Bapak cuma bilang itu. Tapi kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga saya hingga kini. Air mata saya hampir tumpah.

Kemudian saya teringat perkataan Mbah yang titp salam buat Mbahkung sebelum saya pergi. Katanya, “Nanti jangan lupa ya ziarah ke makam Mbahkung. Cara mbales budi ke orang tua itu cukup dengan silaturahmi. Mau masih hidup, atau udah mati orangnya, cukup silaturahmi. Kalau masih hidup ya datang ke rumah atau nelpon, nanyain kabar, ngobrol, cerita, makan masakannya, itu aja. Nggak, orang tua gak pernah mengharap uang, gak perlu rumah atau makam yang megah. Orang tua cuma perlu tahu kalau anak-anaknya selalu sayang mereka, selamanya. Pokoe selama masih ada umur, masih ada rejeki, jangan lupa silaturahmi. Yo, Nduk?”

Iya, Mbah. Ken nggak akan pernah lupa itu.

Komentar

Baca juga...

Gunung Kunci, Benteng Kokoh di Balik Bukit

Menyusui Pasca Operasi Payudara

Kaleidoskop Indonesia 2008

Bahasa "Alay" di Kalangan Remaja

Si Cantik Asli Sumedang